Xpose Uncensored dan Pesantren dalam Perspektif Komunikasi dan Public Relations

Xpose Uncensored dan Pesantren dalam Perspektif Komunikasi  dan Public Relations

--

Viral #boikottrans7 setelah Trans7 menayangkan program Xpose Uncensored, 13 Oktober 2025. Program ini dianggap telah melecehkan dan menghina para kiai dan pondok pesantren. Menilik nama program, dapat dikatakan bahwa Xpose Uncensored merupakan produk jurnalistik yang mestinya bersifat investigasi mendalam agar dapat menguak suatu peristiwa secara apa adanya, detail, dan tanpa ada yang disembunyikan kepada publik. Tulisan ini membahas isu dalam perspektif komunikasi dan public relations.

Bukan fakta yang benar

Setelah melihat tayangan Xpose Uncensored tentang tradisi di Pesantren Lirboyo, dengan mudah dapat disimpulkan bahwa tayangan tersebut merupakan sebuah produk jurnalistik yang cacat. Bahkan, dapat disebut sebagai malpraktik jurnalistik.

Disebut cacat jurnalistik karena tayangan tersebut tidak memenuhi prisip communication is about evidence. Setiap proses komunikasi harus mendasarkan pada fakta-fakta yang benar. Harus dipahami bahwa tidak semua fakta itu benar atau mengandung kebenaran. Misalnya, ada seorang ibu membeli daging kambing di pasar, ternyata oleh si penjual dikatakan bahwa kambingnya habis. Lima menit kemudian, seorang bapak datang ke penjual yang sama dan bermaksud membeli daging kambing. Tanpa berkata apapun, si penjual kambing membungkuk ke bawah meja dan menyerahkan sepotong daging kambing. Ternyata ada daging kambing yang disimpan di bawah meja. Kedua peristiwa percakapan antara penjual dan pembeli adalah sama-sama fakta, tetapi, percakapan yang kedua adalah fakta yang mengandung kebenaran.

BACA JUGA:Menjaga Kesehatan Mental di Era Digital

BACA JUGA:Menyulam Martabat di Tepi Tembok Kampus: Evolusi Gerakan Kampung Lingkar Kampus Universitas Brawijaya

Xpose Uncensored edisi pesantren ini gagal menampilkan fakta yang benar karena tidak didukung bukti yang benar. Tayangan audio-visual tentang aktivitas kiai dan para santri disertai kalimat-kalimat narasi yang dibacakan narator yang mengiringi audio visualnya (voice over) telah menunjukkan fakta-fakta yang tidak benar. Narasi yang disampaikan Trans7 membangun adanya “fakta perbudakan untuk memperkaya diri”. Kemudian, bermunculan konter-narasi dari para ulama, santri, dan alumni pondok pesantren serta Menteri agama, bahwa aktivitas yang ditayangkan merupakan tradisi para santri menghormati kiai dan fakta-fakta lain tentang pesantren. Artinya, “fakta Trans7” ini bukanlah fakta yang benar dan bertentangan dengan fakta dari para ulama, santri, dan alumni pondok pesantren.

Xpose Uncensored dalam Teori Atribusi

Xpose Uncensored hanya berangkat dari perspektifnya sendiri dalam mengatribusi sebuah peristiwa yang dikemasnya menjadi “fakta”. Dalam Teori Atribusi memang disampaikan bahwa setiap orang memiliki kecenderungan untuk menanyakan what’s going on atas suatu peristiwa sosial. Pertanyaan ini yang mendorong seseorang memberikan atribusi tertentu pada suatu peristiwa. Atribusi ini pada akhirnya akan menentukan mana fakta yang benar, fakta yang salah (hoax), dan yang bukan fakta (palsu/fake). 

Jurnalis atau awak media memang manusia yang punya atribusi. Tetapi, profesi jurnalis menuntut seseorang untuk bisa mengemas atibusinya secara benar, yakni berdasarkan berbagai macam informasi yang benar dan berbagai perspektif yang komprehensif. Hal ini dapat dilakukan jurnalis dengan mempraktekkan prinsip cover both sides yang wujudnya adalah mensinergikan fakta-fakta sosiologis (peristiwa sosial) dan fakta-fakta psikologis (hasil wawancara dengan narasumber yang kredibel). Dari tayangan Xpose Uncensored, prinsip ini tampak belum dilakukan tim pembuat program. Konten tayangan cenderung mengadopsi prinsip “kaca mata kuda” dalam membaca realitas.    

BACA JUGA:Integrasi One Health: Peran Sentral Dokter Hewan dalam Mendukung Ketahanan Pangan

BACA JUGA:Kunci Penyelamatan Program MBG

Trans7 harus mengakui bahwa tayangan Xpose Uncensored ini dibuat hanya mendasarkan pada perspektif si pembuat sendiri saja, tanpa menimbang perspektif-perspektif dari berbagai sumber. Akibatnya, terjadi atribusi yang salah terhadap proses-proses pendidikan di pesantren dan pada akhirnya menayangkan fakta yang salah. 

Jika dikaitkan dengan prinsip komunikasi efektif, maka atribusi media lewat tayangan-tayangannya terhadap pesantren harus pula memperhatikan field of experience (bidang pengalaman) dan frame of reference (kerangka rujukan) yang selama ini dianut pesantren. Secara sederhana adalah pahami pesantren dalam perspektif orang-orang pesantren. Media harus menelusuri makna cium tangan, berjalan menunduk, pemberian amplop, ro’an membantu kegiatan pondok, dan lainnya. Media harus pula memahami bagaimana manajemen pesantren dilakukan. Semua itu melalui jurnalistik investigasi yang benar. Awak media jangan hanya mendasarkan bidang pengalaman dan rujukan dirinya sebagai pribadi, yang mungkin berasal dari kelompok-kelompok rujukan yang memang berseberangan dengan eksistensi pesantren. Dengan melakukan proses jurnalistik investigasi yang benar maka media dapat “walking in the same shoes” bukan membuat program tayangan yang berdasarkan “walking in their own shoes only”. 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads