bannerdiswayaward

World Indonesianist Congress: Belajar dari Kawan

World Indonesianist Congress: Belajar dari Kawan

Prof. Jamhari Makruf, Ph.D. - Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia –-dok disway-

BACA JUGA:Merebut Panggung Internasional: UIII, Intelektual Muslim Indonesia dan Masa Depan Pendidikan Islam

Persoalan menjadi semakin berat ketika isu ini bersinggungan dengan perubahan iklim. Negara berkembang mengalami paradoks yang menyakitkan: mereka diminta mengurangi emisi, namun pembangunan ekonominya masih bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam. Berhenti mengekstraksi berarti memperlambat pertumbuhan ekonomi, mempersempit lapangan kerja, dan menunda kesejahteraan rakyat. Tetapi melanjutkan pembangunan berbasis sumber alam berarti mempercepat kerusakan ekologi, memperburuk krisis iklim, dan pada akhirnya tetap kembali menyakiti rakyat.

Karena itulah negara Global South tidak menolak penyelamatan bumi, hanya menginginkan transisi yang realistis—agar jalur menuju negara maju tidak ditutup oleh regulasi yang dibuat dari perspektif negara yang sudah lebih dulu maju.

Di sinilah esensi solidaritas Global South. Gerakan ini bukan anti-Barat. Bukan rivalitas ideologi. Bukan politik blok. Ini adalah suara negara-negara yang memiliki kesamaan nasib, berdiri bersama agar pembangunan tidak ditentukan sepihak oleh agenda negara besar. Untuk negara Global South, pembangunan ekonomi dan penyelamatan bumi bukan dua pilihan yang harus saling mematikan, tetapi dua kepentingan yang harus dipertemukan secara adil.

Belajar dari Kawan

Ada bagian paling menarik dari WIC: setiap tahun, kita bertemu kembali dengan orang-orang yang jatuh cinta pada Indonesia. Salah satu contoh paling fenomenal adalah Professor Tim Lindsey, Guru Besar Hukum di University of Melbourne. Ia mengenal Indonesia bukan dari jurnal internasional, tetapi dari pengalaman menjadi pertukaran pelajar dan tinggal di Purwokerto. Bahasa Indonesianya fasih—dan bahkan mengenal istilah “lo” dan “gue”.

BACA JUGA:Kebijakan Ekonomi Positif Membawa IHSG All Time High

Tim kemudian mendirikan Center for Indonesian Law, Islam and Society (CILIS), yang menghubungkan akademisi Australia–Indonesia lewat riset, seminar, pelatihan, dan pertukaran ilmiah. Daftar karyanya tentang Indonesia panjang: Indonesia: Law and Society,

Islam, Law and the State in Southeast Asia (three volumes), Strangers Next Door: Indonesia and Australia in the Asian Century, dan masih banyak lagi.

Itulah kekuatan Indonesianist: mereka memperkenalkan Indonesia ke dunia tanpa diminta. Salah satu contoh buku “yang mengubah cara dunia memandang Indonesia” adalah The Religion of Java karya Clifford Geertz. Saking populernya, dunia percaya bahwa orang Jawa hanya terdiri dari tiga tipe: Santri, Priyayi, Abangan.

Saat saya studi doktoral di Australia, seorang kawan bertanya, “Jam, are you a Javanese?” Saya jawab, “Yes.” Pertanyaan lanjutannya: “Then… are you Santri, Priyayi, or Abangan?” Saya sempat bingung. Ayah saya berasal dari keluarga petani penikmat wayang, sedangkan kakek dari pihak ibu seorang modin desa lulusan pesantren. Dua dunia itu bertemu dalam diri saya. Saya tidak tahu harus memilih kotak yang mana.

Itulah kekuatan Indonesianist: mereka membantu dunia memahami Indonesia—meski kadang Indonesia jauh lebih kompleks dibanding yang tertulis di buku.

BACA JUGA:Indonesia dan Diplomasi Moral Dunia

Tanda Bahaya: Indonesianist Semakin Menua

Ada satu sinyal penting dari WIC ke-7: banyak Indonesianist sudah sepuh, sangat sedikit yang muda. Bahasa Indonesia tidak lagi banyak dipelajari sebagai bahasa asing di luar negeri. Ketertarikan akademik terhadap Indonesia tampak menurun.

Pertanyaan besar pun muncul: Apakah Indonesia kehilangan daya tariknya? Jawabannya belum tentu. Kita hanya belum menciptakan ekosistem internasionalisasi yang membuat dunia ingin belajar ke Indonesia. WIC bukan hanya forum apresiasi. Ia adalah mesin diplomasi intelektual. Indonesia membutuhkan kawan di luar negeri—bukan semata untuk hubungan akademik, tetapi untuk diplomasi, ekonomi, politik, dan citra bangsa.

Dan kawan terbaik adalah mereka yang memahami Indonesia bukan dari internet, tetapi dari pengalaman hidup. Mungkin benar bahwa dunia akan lebih mengenal Indonesia bukan karena kampanye, bukan karena baliho, bahkan bukan karena berita—tetapi karena pengalaman seseorang yang pernah tinggal di sini dan jatuh cinta.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Close Ads