Strategi Banting Harga ala Internet Rakyat Rp100 Ribu?

Strategi Banting Harga ala Internet Rakyat Rp100 Ribu?

Pemasangan kabel internet bawah tanah di perumahan.-disway -

Selama ini, akses informasi adalah barang mewah.

  • Si Kaya: Mampu beli paket data mahal, akses informasi dari penjuru dunia tanpa hambatan.
  • Si Miskin: Paket data seadanya, informasi terbatas, kuota hanya cukup untuk WhatsApp-an, bukan untuk belajar atau riset mendalam.

"Internet rakyat diharapkan dapat meminimalkan gap antara rakyat kaya dan miskin dalam mengakses informasi," ujar Jamiluddin.

Namun, ia memberikan catatan tebal soal wilayah perbatasan. Program Internet Rakyat belum tentu sakti di sana. Mengapa? Karena infrastrukturnya memang belum ada.

"Meskipun ada internet rakyat, tetap saja segmen ini sulit berselancar di dunia maya. Sebab, jaringan internet yang belum memadai," tambahnya.

Ia mendesak Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk tidak hanya sibuk dengan "harga murah", tapi juga sibuk dengan "pemerataan tiang dan sinyal".

Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahardian, mengingatkan agar pemerintah tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Kita ingat saat pandemi Covid-19, ada banyak janji internet murah untuk pelajar. Tapi apa yang terjadi? Banyak yang tidak berlanjut. Biayanya mahal, infrastrukturnya tidak siap, dan layanannya sering kembang-kempis.

Trubus menekankan beberapa poin krusial:

1. Fokus pada Sektor Prioritas

Alih-alih dipasang serampangan, internet murah ini sebaiknya dikunci dulu di titik-titik vital:

  •  Sekolah dan Kampus
  •  Fasilitas Kesehatan (Puskesmas/RS)
  •  Ruang Layanan Publik

2. Murni Layanan Publik, Bukan Bisnis Terselubung

Ini yang paling ditakuti. Labelnya "Internet Rakyat", tapi di balik layar justru hanya untuk memperkaya penyedia layanan tertentu lewat subsidi negara.

"Ini program public service. Tapi harus dibuat kebijakan dan regulasi yang clear dan jelas, supaya kepentingan bisnis itu diminimalkan," tegas Trubus.

3. Fleksibilitas Wilayah

Kebutuhan di Jakarta tentu beda dengan di pelosok Papua atau desa-desa di Jawa. Regulasi harus kontekstual. Jangan dipukul rata. Di kota mungkin lebih urgen untuk ekonomi kreatif, di desa lebih urgen untuk pendidikan.

Yang juga menarik adalah sikap para wakil rakyat di Senayan. Tim Bisik Disway sudah mencoba mengetuk pintu Komisi I DPR RI yang membidangi telekomunikasi. Hasilnya? Masih nihil.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads