Abu Bakar asy-Syibli, Sufi Yang Berdakwah di Tengah Penguasa Zalim

Rabu 14-09-2022,09:59 WIB
Oleh: KH Imam Jazuli Lc MA*

ABAD 9-10 Masehi, Dunia Islam memang diberkahi oleh lahirnya para Sufi Timur Tengah, baik yang tinggal maupun yang berkiprah di Baghdad. Era ini adalah era kekuasaan Daulah Abbasiah. Setelah Junaid al-Baghdadi dan Hasan al-Bashri, kita mengenal pula sosok sufi besar, Abu Bakar Dalf bin Ja'far asy-Syibli (247-334 H./861-945 M.). Seperti Abu Manshur al-Hallaj yang berasal dari Persia dan tinggal di Baghdad, Asy-Syibli berasal dari Turki dan juga menetap di Baghdad.

Namun, Asy-Syibli berbeda dibanding para Sufi yang sezaman dengan dirinya dalam satu hal; kedekatan dengan khalifah. Asy-Syibli tumbuh berkembang bersama anak-anak para amir dan wazir, dan ia juga bekerja di lingkungan istana khalifah. Ada banyak perilaku zalim dan intrik-intrik buruk di kalangan para hakim istana yang disaksikan langsung dan menyakiti hati Asy-Syibli. Lingkungan hidupnya yang kental nuansa politik tersebut menjadi faktor pendorong ketertarikannya pada dunia sufistik.

BACA JUGA:Syeikh Abdul Qadir Jailani dan Kritik-kritik Politiknya

Berbeda dengan al-Hallaj yang melawan secara frontal terhadap kekuasaan yang zalim, Abu Bakar asy-Syibli menempuh strategi yang lebih halus. Ia menampilkan dirinya sebagai orang yang gila, hilang akal, dan ngomong yang tidak mudah dipahami oleh orang pada umumnya. Misalnya, ia selalu membakar makanannya, mencabik-cabik pakaiannya sendiri, sehingga para sahabatnya menghujat dan menyebutnya gila. Asy-Syibli berkata: “kegilaanku menyelamatkanku, tapi kecerdasan akal al-Hallaj mencelakan dirinya sendiri” ("Muqaddimah fi al-Syi'ri al-Shufi," Majallah al-Mawrad, (1970), No., 102/19).

Berpura-pura gila agar dituduh sebagai orang gila adalah strategi Asy-Syibli agar ia bisa mengundurkan diri dari pekerjaannya di Istana. Hal ini adalah pelajaran yang sangat sulit untuk kita lakukan di era sekarang. Banyak orang yang sebelumnya baik dan membela rakyat, ketika masuk menjadi bagian dari penguasa, ia pun kehilangan idealismenya saat masih sebagai aktivis. Pada gilirannya, ia menjadi penjilat penguasa agar tetap mendapat pekerjaan di istana.

Perjumpaan Asy-Syibli dan Al-Hallaj ini populer tercatat dalam banyak kitab. Asy-Syibli menceritakan perjumpaan dirinya dengan al-Hallaj, ketika al-Hallaj sedang digantung di tiang salib dengan tangan dan kaki yang dipotong. “Apa arti tasawuf, wahai al-Hallaj?” tanya Asy-Syibli. “Tasawuf adalah apa yang engkau lihat sekarang ini,” jawab al-Hallaj (Nuruddin Abdus Salam, Al-Haqiqah wa al-Syari'ah fi al-Fikr al-Shufi, 2004: 67). 

Pengaruh al-Hallaj sangat besar pada pemikiran Asy-Syibli, terutama dalam hal pemikiran menyikapi politik penguasa. Walaupun Asy-Syibli sebelumnya sudah pernah menghalangi Al-Hallaj dalam bersikap frontal pada penguasa. Tetapi, al-Hallaj memilih jalan frontal dan asy-Syibli memilih cara yang lebih halus; berpura-pura gila agar bisa keluar dari lingkungan korup istana. Asy-Syibli yang tumbuh di lingkungan istana sejak awal tahu bahwa dampak politik yang zalim sangat berhaya pada para oposan di luar istana.

Setelah melihat  dampak politik zalim terhadap al-Hallaj itu, Asy-Syibli mengatakan: “aku dan Abu Manshur al-Hallaj adalah orang yang sama. Namun, dia menampakkan sikapnya dan aku menyembunyikannya,” (Muhammad bin Abdul Majid, Ikhwan al-Shafa wa at-Tauhid al-Ulwa, Dar Ara' li al-Tsaqafah wa al-Kutub, 1999: 151). Dengan memilih bersembunyi, Asy-Syibli pun berpura-pura gila dan mengundurkan diri dari pekerjaannya di lingkungan istana.

Setelah merasa yakin bahwa para sahabatnya menganggapnya gila, Asy-Syibli mengundurkan diri dari pekerjaannya melayani para khalifah. Tuduhan gila dari orang-orang di lingkungannya itu membuat hati Asy-Syibli bahagia, karena sebentar lagi dia punya alasan untuk berhenti. Baginya, hidup di lingkungan yang zalim adalah siksaan, bukan kebahagiaan yang menyelamatkannya di dunia maupun akhirat nanti.

Namun, Imam Junaid al-Baghdadi, sahabat dekatnya, tidak setuju dengan keputusan Asy-Syibli. Junaid pun akhirnya meminta Asy-Syibli untuk kembali bekerja di istana khalifah dan memitanya agar berpikir keras bagaimana caranya umat manusia menjadi ridha. Setidaknya, agar orang-orang istana bisa menerimanya kembali. 

Karena desakan dari Junaik al-Baghdadi, dan untuk memenuhi permintaan sang sahabat itu, Asy-Syibli pun kembali bekerja di istana. Dalam rangka menjaga diri dari godaan dosa di istana, ia menjalankan suluk sufistik secara tekun, keras, dengan bermazhab Malikiah. Hanya jalan Sufistik sajalah yang mampu mencegah hati manusia dari tergoda dosa-dosa yang bersiliweran di istana. Dan kita sebagai umat muslim akhir zaman mendapatkan banyak pelajaran dari perjalanan hidup spiritual dan politik asy-Syibli.

Perminaan Junaid al-Baghdadi sangat tepat. Betapa buruknya kekuasaan para khalifah tidak boleh sepenuhnya ditinggalkan. Sebab, jika bukan seorang sufi yang mampu menahan diri dari terjerumus ke dalam jurang politik yang kotor, lantas siapa lagi yang akan berdakwah di lingkungan istana. Pilihan Asy-Syibli untuk menjalankan tarekat sufistik pun masuk di akal. Karena bila jiwa manusia tidak betul-betul tangguh, maka ia akan mudah jatuh ke jurang dosa saat berada di istana yang korup dan zalim. (*)

*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

 

Kategori :