Syeikh Abdul Qadir Jailani dan Kritik-kritik Politiknya

Syeikh Abdul Qadir Jailani dan Kritik-kritik Politiknya

KH Imam Jazuli Lc--

DAULAH Abbasiah di Iran kembali menyaksikan kelahiran Sufi besar, Abdul Qadir Jailani, pada tanggal 11 Rabius Tsani 470 H./23 Maret 1078 di Gilan. Kota Gilan ini masih diperdebatkan, ada yang menyebutnya Gilan Iran dan ada pula yang menyebutnya Gilan 40 km ke arah Utara Irak. Ada juga yang menyebutnya dari Kailan, Baghdad. Abdul Qadir adalah putra seorang ahli zuhud, Abu Sholih Musa yang bergelar Muhibbul Jihad. Ia wafat pada 10 Rabiul Tsani 561 H.

Dari kota Gilan, Abdul Qadir pergi menuju Baghdad pada tahun 488 H./1095 M, pada usia 18 tahun di era kepemimpinan Khalifah Abbasiah Al-Mustazhhihr Billah, yang berkuasa dari 1095-1118 M.  Setibanya di Baghdad, ia langsung belajar kepada Syeih Abu Sa'id al-Makhrami. Ketika sudah tinggal di Baghdad, Abdul Qadir mengetahui peta politik global kala itu, Perang Salib.

BACA JUGA:Politik Sufistik ala Hasan al-Bashri

Perang Salib terjadi dan sedang menggempur umat muslim di Syam (Suriah), menguasai Antokia (Turki), dan Baitul Maqdis (Palestina). Di negara-negara ini, Kaum Salib banyak membantai habis umat muslim dan menjarah harta benda sebagai barang rampasan perang mereka. Selain konflik Islam versus Kristen, saat itu Abdul Qadir juga melihat konflik antar umat muslim, pasukan Turki versus Saljuk.

Sultan Turki Barkyaruq bin Muluksyah membawa pasukan besar menuju Baghdad dan meminta Khalifah al-Mustazhhihr Billah melepaskan Ibnu Juhair (menteri Barkyaruq). Namun, Khalifah menolak permintaan Sultan sehingga pecahlah banyak peperangan. Ketika Sultan Turki berhasil mengalahkan Khalifah Baghdad, kelompok Batiniah di Ashfihan, Iran, bangkit melakukan perlawanan rahasia. Walaupun pada akhirnya, Sultan Saljuk mampu meredam pemberontakan tersebut. 

Tidak saja itu, para Amir Bani Mazid dari Kabilah Bani Asad di bawah pimpinan Shidqah bin Mazid juga bangkit melawan Sultan Saljuk. Pasukan Shidqah bin Mazid ini berasal dari bangsa Arab dan kaum Kurdi. namun, Sultan Saljuk kembali berhasil meredam perlawanan tersebut (Ibnu Atsir, Al-Kamil fi At-Tarikh, Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1987: 9/8).

Sementara kehidupan sosial sama parahnya dengan kehidupan politik. Masyarakat muslim pada abad 6 Hijriah atau 12 Masehi ini menjalani kehidupan yang rusak, amoral, karena alasan politik. Materialisme dan pragmatisme menghantui setiap sendi kehidupan masyarakat. Penyakit menggempur kesehatan masyarakat, dan krisis ekonomi mencapai puncaknya. Aksi pencurian di rumah-rumah dan perampokan di jalan-jalan semakin parah.

Di tengah-tengah kehidupan sosial politik dunia Islam tersebut, Abdul Qadir Jailani menempuh jalur pendidikan untuk melakukan perlawanan. Syeikh Abdul Qadir banyak menyampaikan pelajaran dan mengkritik para penguasa yang zalim. Tidak saja itu, ia juga mendorong umat manusia untuk menjauhi para penguasa yang zalim dan meninggalkan syariat.  Salah satu ucapan Syeikh Abdul Qadir sebagai berikut:

“para raja menjadi Tuhan bagi rakyatnya; kenikmatan duniawi, kekayaan, kesehatan dan kekuatan menjadi tuhan bagi banyak orang; apabila para penguasa dunia, para fir'aun dan raja, orang-orang kaya raya sudah tidak lagi ingat pada Allah dan tidak mengagungkan-Nya, maka kamu seperti menyembah berhala. Orang yang engkau agungkan adalah berhalamu,” (Jamaluddin Falih al-Kailani, Syeikh Abdul Qadir al-Kailani: Ru'ya Tarikhiah Mu'ashirah, Dar al-Fikr, 2014: 213).

Jamaluddin Falih al-Kailani mengatakan,pada tahun 541 H./1146 M, Muhammad al-Muqtafi li Amrillah berkuasa menjadi Khalifah dan bertindak sangat kejam pada rakyat, dan menjadi penerima suap terbesar. Kemudian Syeikh Abdul Qadir Jailani berkhotbah di sebuah masjid ketika sang Kholifah juga ikut bejamaah di sana. 

Di atas mimbar, Syeikh berkata: “seandainya engkau adalah orang yang paling zalim terhadap umat muslim, apa jawabanmu nanti di hadapan Tuhan semesta alam?” Mendengar Syeikh Abdul Qadir mengatakan begitu, Khalifah al-Qadhi Muhammad al-Muqtafi li Amrillah langsung berdiri dan pergi meninggalkan masjid dan Syeikh Abdul Qadir beserta pengikutnya (Falih al-Kailani, 2014: 213).

Mengingat perilaku para elite Daulah Abbasiah yang penuh dosa itu, Syeikh Abdul Qadir memilih menjauhkan diri dari sana dan melakukan gerakan reformasi iman melalui madrasah yang didirikannya. Melalui metode pendidikan (tarbiyah) ini, Abdul Qadir berhasil membentuk satu generasi yang berjuang mewujudkan idealismenya. Para generasi inilah yang mengusung kembali gagasan Syeikh Abdul Qadir Jailani dibekali dengan berbagai karya, terutama karya monumentalnya berjudul “Al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haqq.” 

Dalam kitab al-Ghunyah ini, Syeikh Abdul Qadir membagi konsep melatih dan membersihkan jiwa menjadi empat bagian: pertama, tentang rahasia-rahasia ibadah; ilmu, akidah, thaharah, shalat, zakat, puasa, hajji, membaca al-Quran, berdzikir dan berdoa, serta tertib wiridan. 

Pada bagian kedua, tentang adat istiadat dan aturannya, seperti etika makan, menikah, bekerja dan mencari penghasilan hidup, perbedaan halal dan haram, arti penting persaudaraan dan kasih sayang, pentingnya uzlah, etika bepergian jauh, etika untuk mengalami Sima' dan Wajdu, arti amar ma'ruf nahi munkar, dan etika hidup yang didasarkan pada akhlak kenabian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait