BACA JUGA:Catat, Ada 102 Merek Obat Sirup Dilarang Diperdagangkan
Tidak hanya itu, pihaknya juga melakukan tes secara patologi dan dari tes tersebut hasilnya memiliki persentase kecil sehingga bukan itu penyebabnya.
Melihat hasil yang menunjukan bahwa bukan penyebabnya, pihak Kemenkes merasa bingung hingga munculah rilis dari pihak WHO.
"Nah lalu kita tes secara patologi, apakah disebabkan oleh bakteri atau virus? Ternyata tidak. Dan kecil sekali persentase kandungannya. Jadi di bulan September itu kita agak bingung juga," kata Budi.
"Yang membuat kita agak terbuka adalah karena ada kasus di Gambia yang tanggal 5 Oktober, WHO keluarin rilis dan ini disebabkan oleh senyawa kimia," sambungnya.
BACA JUGA:Pajak Roket
BACA JUGA:Ronaldo Curigai Rekan Setim Lakukan Pembusukan, Harapan Sir Alex Ferguson Terkikis Ulah Erik Ten Hag
Mengetahui rilis tersebut, Budi beserta timnya langsung melakukan penelitian secara toksikologi dan dari 11 anak yang diperiksa, 7 anak positif memiliki senyawa berbahaya, yaitu ethylene glycol, diethylene glycol dan ethylene glycol butyl ether.
"Nah kita tes di anak-anak tersebut dan hasilnya dari 11 anak, 7 anak positif memiliki senyawa berbahaya tadi," sebut Budi.
"Senyawa berbahaya tersebut terdapat pada mereka, jadi terkonfirm bahwa ini disebabkan oleh senyawa kimia tadi," tandasnya.
BACA JUGA:PSSI Bentuk Tim Satgas Transformasi Sepak Bola Indonesia
BACA JUGA:Angin Puting Beliung Terjang Lampura, 9 Rumah Rata dengan Tanah, Puluhan Rusak Berat
Sebagai informasi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia (RI) mencatat ada 241 kasus gagal ginjal akut di Indonesia.
Data tersebut didapati oleh pihak Kemenkes berdasarkan dari 22 Provinsi yang ada di Indonesia dan lebih dari 50 persen dinyatakan meninggal dunia.
"Sampai sekarang kita sudah mengintifikasi ada 241 kasus gangguan gagal ginjal akut di 22 provinsi dengan 133 kematian atau 55 persen dari kasus," kata Budi.