BACA JUGA:Tanggapi Kasus KDRT Selebgram Cut Intan Nabila, KemenPPPA: Korban Harus Berani Bersuara
Sehingga tak menutup kemungkinan akan muncul dalam iklan di berbagai aplikasi gratis yang ada di internet.
Terlebih, secara biologis konten seksual dapat memancing rasa penasaran bagi setiap orang yang menyaksikannya.
"Mungkin pertama anak akan kaget melihat, kemudian di sistem otaknya akan ada dorongan untuk melihat lebih jauh. Di sinilah pentingnya pendampingan orang tua," tuturnya.
Di sisi lain, pendidikan seksual sebenarnya sudah diakomodir dalam kurikulum di sekolah dari berbagai tingkatan.
"Kurikulum memberikan kebebasan bagi sekolah untuk menempatkan materi ini dalam berbagai mata pelajaran yang relevan. Jadi ada yang menempatkannya pada mata pelajaran pendidikan jasmani dan olahraga, ada yang menempatkannya sebagai muatan lokal, ada yang menempatkannya sebagai bagian dari materi pelajaran agama dan seterusnya," paparnya.
Kemudian dalam perkembangannya, lanjut Ciput, "Kami juga mengetahui bahwa Kemendikbudristek juga sudah pernah menyusun materi bahan ajar tentang kesehatan reproduksi ini dibantu oleh berbagai lembaga masyarakat yang bergerak di bidang kesehatan, terutama yang concern pada kesehatan perempuan dan anak."
Namun demikian, materi bahan ajar ini sempat tidak dapat diimplementasikan dengan berbagai tantangan, salah satunya karena nomenklatur 'kesehatan reproduksi', maka Kementerian Kesehatan juga merasa memiliki kewenangan untuk bisa memastikan bahwa materi bahan ajar itu sesuai dengan kaidah dan norma yang ada di bidang kesehatan.
"Dan kami sempat mengetahui bahwa tahun ini kembali dua kementerian ini berkoordinasi untuk menyegerakan tersedianya materi pendidikan tentang kesehatan reproduksi ini di semua tingkat pendidikan."
BACA JUGA:Belajar dari Kasus Penganiayaan Anak di Daycare, KemenPPPA Ingatkan untuk Lebih Selektif
Bagi Kemenkes sendiri, pihaknya juga telah menyediakan layanan konsultasi kesehatan reproduksi (kespro) remaja di puskesmas-puskesmas.
"Bisa jadi, informasi keberadaan layanan ini tidak disosialisasikan dengan baik oleh para pemangku kebijakan yang memiliki urusan di tingkat daerah sehingga mungkin banyak anak yang tidak memanfaatkan fasilitas ini."
Sementara dari perspektif gender dan sosial inklusi, jam layanan di puskesmas tidak selaras dengan waktu anak berkegiatan di sekolah.
"Karena mereka (anak-anak) juga sekarang kan belajar full time sampai jam 3 sore, pada saat sekolah-sekolah itu menerapkan belajar 5 hari dalam seminggu. Kemungkinan anak tidak bisa mengakses kecuali hanya jika terjadi keluhan pada kesehatan reproduksinya saja."