JAKARTA, DISWAY.ID -- Satu dekade terakhir kepemimpinan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, jumlah utang negara Republik Indonesia (RI) kini sudah mencapai angka ribuan triliun Rupiah.
Dilansir dari data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), total jumlah utang negara sudah mencapai Rp8.461,93 triliun per akhir Agustus 2024, lengkap dengan rasio 38,49 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Selain masalah utang yang menumpuk, Indonesia kini juga harus dihadapkan dengan permasalahan kesenjangan sosial yang kian terus melebar.
BACA JUGA:Tingkatkan Penggunaan Produk Dalam Negeri, Kemenperin Rutin Gelar Sosialisasi
BACA JUGA:Tiba di Balikpapan, AHY Serahkan Sertifikat Istana Negara dan Istana Garuda IKN
Meskipun berbagai program sosial telah diluncurkan, faktanya kesenjangan pendapatan dan ketimpangan akses terhadap layanan publik masih sangat nyata di Indonesia.
Menurut keterangan Ekonom sekaligus Dosen Universitas Pembangunan "Veteran" Jakarta, Achmad Nur Hidayat, hal ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang diterapkan Menkeu Sri Mulyani belum mampu menciptakan pertumbuhan yang inklusif.
"Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen, kebijakan fiskal harus dirancang agar lebih inklusif, dengan menempatkan redistribusi kekayaan dan akses yang lebih luas ke layanan dasar sebagai prioritas," ujar Achmad saat dihubungi oleh Disway pada Jumat 11 Oktober 2024.
Dalam keterangannya, Achmad menilai bahwa Menkeu Sri Mulyani belum mampu menghadirkan kebijakan yang bisa menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan kesejahteraan secara efektif.
BACA JUGA: Dukung Pertumbuhan Keuangan Syariah, OJK Terbitkan Regulasi dan Program Inisiatif
BACA JUGA:Gencar Sosialisasikan Sertifikat TKDN, Kemenperin Libatkan Ribuan Industri Kecil
Selain itu, Achmad juga menambahkan bahwa saat ini Indonesia tengah berada pada posisi yang krusial,di mana tantangan ekonomi semakin kompleks dan membutuhkan solusi yang out of the box.
Untuk mencapai lompatan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, Indonesia membutuhkan pemimpin ekonomi yang kreatif, berani mengambil risiko, dan mampu melihat peluang di tengah tantangan.
"Kebijakan fiskal yang hanya berfokus pada stabilitas dan pembangunan infrastruktur besar-besaran tanpa hasil yang jelas tidak akan cukup," pungkas Achmad.
Oleh karena itulah, Achmad menilai bahwa sosok baru di posisi Menteri Keuangan harus mampu merombak kebijakan fiskal dengan lebih berani, fokus pada investasi di sektor-sektor masa depan seperti ekonomi digital, energi terbarukan, dan inovasi teknologi.