JAKARTA, DISWAY.ID - Pada tanggal 2 April 2025, Presiden AS, Donald Trump mengumumkan penerapan tarif impor mobil sebesar 25%, termasuk kendaraan listrik.
Langkah ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri Amerika Serikat dan menciptakan lapangan kerja melalui kebijakan tarif tersebut.
Namun, ternyata kebijakan ini justru berpotensi menambah biaya produksi mobil di dalam negeri, menurunkan keuntungan perusahaan, hingga memicu inflasi.
Bahkan, dampaknya juga bisa sangat besar terhadap industri otomotif global, terutama di sektor kendaraan listrik. Bisa dibilang, kebijakan ini lebih banyak merugikan kedua belah pihak, termasuk Amerika Serikat sendiri.
BACA JUGA:Tarif Trump Picu Kekhawatiran PHK, Asosiasi Tekstil Minta Perlindungan
Perdana Menteri Kanada, Mark Carney menyatakan, jika Amerika Serikat tetap ngotot menjalankan tarif impor mobil ini, Kanada akan mengambil langkah balasan melalui kebijakan perdagangan yang melindungi kepentingan ekonominya.
Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, keberhasilan kendaraan listrik (EV) asal Tiongkok juga ditopang oleh kebijakan pemerintah yang kuat, termasuk subsidi, insentif pajak, dan regulasi emisi yang ketat.
Pemerintah Tiongkok juga menetapkan target yang cukup tinggi, seperti memastikan bahwa 20% dari seluruh kendaraan yang dijual di dalam negeri adalah kendaraan listrik pada tahun 2025.
Kebijakan-kebijakan yang diambil berhasil menciptakan situasi yang kondusif bagi inovasi dan investasi yang akhirnya menarik banyak pelaku industri, baik dari dalam maupun luar negeri.
BACA JUGA:Ekonom Soroti Peluang di Tengah-tengah Ancaman Tarif Dagang Donald Trump
Meskipun kebijakan tarif Amerika bertujuan melindungi industri dalam negeri, risiko ekonomi dan gesekan dalam perdagangan internasional yang ditimbulkannya justru berpotensi membawa dampak jangka panjang yang negatif bagi industri otomotif Amerika Serikat sendiri.
Bisa jadi, ini memang langkah terakhir karena tidak adanya pilihan yang lebih baik.