Ada cerita menarik. Sebelum dikenal sebagai akademisi tasawuf, Budi pernah lama berkecimpung di dunia pers. Ia bahkan dipercaya menjabat sebagai Bendahara Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.
“Pengalaman jurnalistik membuat saya peka terhadap masalah sosial,” katanya.
“Tapi tasawuf memberi kedalaman untuk mencari solusi. Keduanya saling melengkapi".
Kini, ia dikenal sebagai praktisi tasawuf sosial sekaligus pengasuh Pesantren Peradaban Dunia Jagat ‘Arsy. Pesantren yang ia gagas bukan sekadar tempat belajar kitab, melainkan ruang membentuk generasi yang matang secara akademik sekaligus ruhani.
BACA JUGA:KPK Buka Suara soal Isu Pemanggilan Nikita Mirzani Terkait Dugaan Suap Jaksa dan Hakim
BACA JUGA:Rudy Susmanto Lantik Pejabat Administrator, Pengawas, dan Fungsional
Program MBG, menurut Budi, bisa jadi momentum emas. “Bayangkan kalau makan bergizi gratis dipadukan dengan pendidikan karakter, dzikir sederhana, pembiasaan jujur, dan disiplin. Itu akan melahirkan generasi yang kuat ototnya sekaligus kokoh moralnya,” jelasnya.
Tasawuf yang Membumi
Budi menolak anggapan bahwa tasawuf adalah lari dari dunia. Baginya, tasawuf sosial justru harus hadir di ruang publik, di sekolah, bahkan di kebijakan negara.
“Revolusi mental itu bukan sekadar jargon. Ia butuh metode. Tasawuf sosial memberi metode: mulai dari pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs), kepedulian (ihsan), sampai etika sosial (adab). Kalau ini masuk ke program MBG, dampaknya luar biasa,” jelasnya.
Ia menegaskan, bangsa yang besar bukan hanya karena infrastrukturnya megah, tetapi karena jiwa generasinya kokoh. Dari pengalamannya meneliti tarekat, ia belajar: komunitas bisa bertahan ratusan tahun bukan karena materi, tapi karena ruh.
“Kalau MBG hanya berhenti pada urusan logistik, ia berpotensi jadi proyek jangka pendek. Tapi jika dipadukan dengan pembangunan ruhani, MBG bisa jadi investasi peradaban,” tegasnya.
BACA JUGA:Dapat Izin Klub, Ole Romeny Tambah Kekuatan Timnas Indonesia di Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026
Jalan Tengah antara Dunia dan Ruhani
Gagasannya soal gizi ruhani membuat banyak orang menyebutnya pengusung jalan tengah antara spiritualitas dan modernitas. Ia menolak dikotomi tajam: jasmani diurus pemerintah, ruhani diurus ulama.
“Jangan terjebak. Jasmani dan ruhani harus berjalan bersama,” katanya.
Itu sebabnya, ia menulis bukan hanya untuk kalangan akademik, tapi juga untuk masyarakat luas. Baginya, kebijakan publik tanpa ruhani ibarat bangunan tanpa fondasi. “Megah di awal, tapi mudah runtuh saat diterpa badai,” ujarnya.