Meskipun menyambut baik semangat reformasi, Prof. Hikmahanto juga menyampaikan kekhawatiran serius mengenai beberapa ketentuan yang dinilai dapat membahayakan masyarakat atau setidaknya menghambat proses due process of law (proses hukum yang adil).
A. Waktu Penahanan yang Lebih Panjang
BACA JUGA:Badan Geologi ESDM Imbau Warga Jauhi Jalur Guguran Lava Pasca Peningkatan Level Erupsi Semeru
BACA JUGA:BNPB Pantau Dampak Kenaikan Status Aktivitas Vulkanik Erupsi Gunung Semeru
Salah satu pasal yang paling disorot adalah potensi perpanjangan masa penahanan yang dapat dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum.
"Jika waktu penahanan terlalu lama tanpa pengawasan yang ketat, ini bisa menjadi pintu masuk bagi praktik 'penahanan sewenang-wenang' atau abuse of power. Masa penahanan yang lama dapat menekan seseorang untuk mengakui perbuatan yang belum tentu ia lakukan," jelasnya.
B. Pengurangan Peran Praperadilan
Prof. Hikmahanto juga menyoroti adanya dugaan pembatasan terhadap objek praperadilan.
Jika ruang lingkup praperadilan dipersempit, maka mekanisme pengawasan terhadap tindakan aparat penegak hukum (seperti penetapan tersangka yang tidak sah atau penyitaan) akan berkurang, yang pada akhirnya dapat merugikan hak-hak tersangka.
BACA JUGA:DI COP30 Brasil, Pertamina Paparkan Upaya Pelestarian Lingkungan dan Keanekaragaman Hayati Nusantara
BACA JUGA:KPU Bantah Musnahkan Ijazah Jokowi: Hanya Buku Agenda saat Pencalonan Cawalkot Solo
Secara keseluruhan, Prof. Hikmahanto menyimpulkan bahwa KUHAP yang baru memiliki tujuan mulia, yaitu menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih efisien dan modern.
Namun, efek bahaya atau manfaat dari undang-undang ini akan sangat bergantung pada implementasi dan pengawasan.
"Undang-undang secanggih apapun tidak akan berguna jika tidak diikuti dengan perbaikan mental aparat penegak hukum. DPR dan masyarakat sipil harus membentuk mekanisme pengawasan yang kuat sebelum KUHAP ini berlaku di Januari 2026, untuk memastikan ia melayani keadilan, bukan kepentingan kekuasaan," tutupnya.