Saat ini, Fathan berada dalam perawatan, menjadi tumpuan kasih sayang bagi warga yang selamat. Kisahnya bukan hanya tentang kesedihan, tetapi juga tentang keteguhan jiwa. Ia adalah pengingat hidup akan segala yang telah hilang, dan pada saat yang sama, janji akan masa depan yang harus terus diperjuangkan.
Komunitas Desa Selaras Aia Timur kini mengemban tugas kolektif untuk memastikan Fathan mendapatkan kehidupan yang layak, menggantikan keluarga yang telah direnggut oleh air bah.
Di samping kisah Fathan, realitas pahit di lapangan masih terus bergulir. Wali Nagari mengungkapkan bahwa hingga saat ini, masih banyak warganya yang belum ditemukan.
"Laporan dari masyarakat menunjukkan masih ada korban lain yang tertimbun longsoran dan lumpur," jelas Fauzi.
BACA JUGA:Mafia Tanah Makin Canggih, Menteri Nusron Ingatkan BPN: Jangan Jadi Bagian Ekosistemnya!
Sayangnya, proses evakuasi terhambat oleh keterbatasan alat berat. Alat yang ada saat ini dianggap belum cukup untuk melakukan pencarian dan penggalian secara maksimal di area bencana yang luas dan sulit dijangkau.
Keterbatasan alat berat ini menjadi fokus utama harapan Wali Nagari. Ia secara terbuka menyatakan harapannya agar ada bantuan tambahan alat berat dari pihak terkait.
Seruan ini adalah panggilan darurat bagi solidaritas nasional, bukan hanya untuk mempercepat penemuan jasad warga yang belum ditemukan, tetapi juga untuk membantu membersihkan dan merekonstruksi desa yang kini tinggal puing-puing. Bantuan ini sangat krusial untuk menggerakkan kembali roda kehidupan pasca-bencana.
Peristiwa galodo di Selaras Aia Timur memberikan pelajaran yang sangat berharga mengenai pentingnya mitigasi bencana dan pemahaman risiko geografis. Kisah Fathan dan kehancuran desanya menjadi refleksi bagi seluruh masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di daerah rawan bencana alam.
Kepercayaan pada tradisi masa lalu tidak lagi cukup untuk menghadapi kekuatan alam yang telah berubah. Perlu ada upaya kolektif, dari pemerintah hingga warga, untuk menyesuaikan diri dengan ancaman baru.
Fathan, Harapan yang Tumbuh di Puing-Puing
Fathan, bayi tiga bulan yang tersangkut di pohon, adalah simbol kegetiran sekaligus harapan. Dia adalah saksi bisu kejamnya alam, namun juga bukti nyata perlindungan dan keajaiban. Di puing-puing Desa Selaras Aia Timur, di tengah kesibukan evakuasi dan duka yang mendalam, Fathan berdiri sebagai janji bahwa kehidupan akan terus berlanjut.
Kisahnya akan terus diceritakan, bukan hanya sebagai cerita pilu, tetapi sebagai penanda bahwa di tengah bencana terburuk sekalipun, secercah cahaya dan harapan akan selalu menemukan jalannya untuk bertahan.