JAKARTA, DISWAY.ID - Ketika tiga unit bus listrik kampus yang kami sebut Bilis, mulai beroperasi di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagian orang melihatnya sebagai penambahan fasilitas transportasi semata.
Padahal, kehadiran Bilis sesungguhnya membawa pesan yang jauh lebih mendasar: perubahan lingkungan tidak dimulai dari mesin, tetapi dari kesadaran manusia.
Teknologi hanyalah alat; budaya hiduplah yang menentukan arah peradaban.
BACA JUGA:Desember Pedas: Rutinitas Musiman dan Alarm Tata Kelola Rantai Pasok Cabai
BACA JUGA:Perempuan Pemberani Afghanistan
Dalam percakapan global tentang keberlanjutan, kampus sering disebut sebagai living laboratory, ruang hidup tempat gagasan etis, teknologi, dan kebiasaan sosial diuji secara nyata.
Perguruan tinggi tidak cukup mengajarkan teori pembangunan berkelanjutan di ruang kelas, tetapi perlu mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari: dari cara energi digunakan, ruang hijau dirawat, hingga bagaimana sivitas akademika berpindah dari satu gedung ke gedung lain.
Teknologi dan Kesadaran Lingkungan
Transportasi listrik kini dipandang sebagai salah satu solusi penting dalam upaya menekan emisi karbon dan memperbaiki kualitas udara, terutama di kawasan perkotaan.
International Energy Agency (IEA) dalam Global EV Outlook 2024 mencatat bahwa elektrifikasi transportasi publik berkontribusi signifikan dalam mengurangi polusi udara serta ketergantungan pada bahan bakar fosil.
BACA JUGA:Antropologi Kebencanaan
BACA JUGA:Konser Kemanusiaan dan Etika Solidaritas Bangsa
Namun laporan yang sama juga menegaskan satu hal krusial: teknologi hanya efektif jika dibarengi perubahan perilaku mobilitas masyarakat.
Artinya, mengganti kendaraan berbahan bakar fosil dengan kendaraan listrik saja tidak cukup.
Jika pola hidup tetap sama mengandalkan kendaraan untuk jarak dekat, menumpuk kendaraan di ruang sempit, dan mengabaikan opsi berjalan kaki, maka teknologi hijau berisiko menjadi sekadar kosmetik ekologis.