Mobilitas ideal sering diukur dari kecepatan dan kemudahan, bukan dari dampaknya terhadap kualitas hidup.
Padahal, berbagai riset mutakhir justru menunjukkan bahwa berjalan kaki memiliki manfaat yang jauh melampaui sekadar perpindahan fisik.
Studi dalam Journal of Transport & Health (2023) menegaskan bahwa lingkungan kampus yang mendorong aktivitas berjalan kaki berkorelasi positif dengan kesehatan mental, penurunan stres akademik, serta peningkatan interaksi sosial antarwarga kampus.
BACA JUGA:Sinergi Baru Akademisi Indonesia dan Turki
Lebih dari sekadar aktivitas jasmani, berjalan kaki memiliki makna akademik dan filosofis yang mendalam. D
alam sejarah intelektual, berjalan sering menjadi bagian integral dari proses berpikir.
Para filsuf Peripatetik berdiskusi sambil berjalan, karena gerak tubuh diyakini membantu kejernihan pikiran dan keluwesan argumentasi.
Tradisi ini mengingatkan kita bahwa berpikir tidak selalu lahir dari duduk diam di balik meja, tetapi juga dari perjumpaan dinamis antara tubuh, ruang, dan gagasan.
Di lingkungan kampus, berjalan kaki memperlambat ritme yang terlalu tergesa.
Ia membuka ruang dialog spontan antara dosen dan mahasiswa, memungkinkan percakapan yang lebih egaliter, dan memperkuat rasa kebersamaan sebagai komunitas ilmiah.
BACA JUGA:Fondasi Baru Perdamaian Dunia
BACA JUGA:'Menghidupkan' Warisan Gus Dur, Bolehkah dengan Melupakan Jejaknya?
Kampus yang ramah bagi pejalan kaki secara tidak langsung membangun budaya keterbukaan dan kebersamaan—dua prasyarat penting bagi iklim akademik yang sehat.
Dengan berjalan kaki, kita tidak hanya mengurangi emisi karbon dan kepadatan kendaraan, tetapi juga merawat tubuh, pikiran, dan relasi sosial.
Kampus yang sehat secara fisik akan lebih siap melahirkan pemikiran yang jernih dan produktif.