Dalam jangka panjang, budaya berjalan kaki bukan sekadar pilihan mobilitas, melainkan bagian dari etika akademik yang menempatkan kesehatan manusia dan kualitas interaksi sebagai inti dari proses pendidikan.
Kampus Hijau sebagai Kampus Beradab
Konsep green campus kerap direduksi menjadi daftar indikator teknis: jumlah panel surya, pengelolaan air, atau armada kendaraan listrik.
BACA JUGA:Elegi Lumpur di Hulu Bencana
BACA JUGA:Polemik PBNU: Pelanggaran Berat, Bukan Perselisihan
Semua itu penting, tetapi belum menyentuh akar persoalan. Fritjof Capra dalam The Systems View of Life (2015) mengingatkan bahwa krisis lingkungan bersumber dari cara berpikir yang terfragmentasi, memisahkan teknologi dari nilai, dan kebijakan dari etika.
Karena itu, kampus hijau sejatinya adalah kampus beradab.
Kampus yang menempatkan keberlanjutan sebagai bagian dari etika hidup bersama.
Ia ramah bagi pejalan kaki, inklusif bagi difabel, aman, dan nyaman sebagai ruang belajar. Ia mendidik melalui keteladanan, bukan sekadar kampanye.
Edgar H. Schein dalam Organizational Culture and Leadership (2017) menegaskan bahwa budaya institusi dibentuk oleh praktik yang diulang setiap hari, bukan oleh slogan.
Ketika dosen, pimpinan, dan mahasiswa terbiasa memilih opsi yang lebih ramah lingkungan, pesan pendidikan itu bekerja secara diam-diam namun efektif.
BACA JUGA:World Indonesianist Congress: Belajar dari Kawan
BACA JUGA:Apresiasi untuk Tujuh Prestasi Gus Yahya di PBNU
Sebagai perguruan tinggi keagamaan Islam, UIN Jakarta memandang keberlanjutan sebagai bagian dari amanah moral.
Etika Islam menempatkan manusia sebagai penjaga bumi, bukan pemilik mutlak.
Prinsip moderasi dan tanggung jawab menuntut penggunaan sumber daya secara proporsional dan berkelanjutan, bukan berlebihan, bukan pula abai.