Dari Fasilitas ke Peradaban
Tiga unit Bilis yang kini beroperasi di lingkungan UIN Jakarta adalah simbol komitmen, bukan tujuan akhir.
Ia memudahkan mobilitas sivitas akademika, tetapi sekaligus mengundang pertanyaan yang lebih mendasar: sejauh mana kita bersedia mengubah kebiasaan hidup kita sendiri?
BACA JUGA:Kebijakan Ekonomi Positif Membawa IHSG All Time High
BACA JUGA:Ihwal Tafsir Peraturan, Kuasa, dan Sebuah Jalan Tengah
Kampus hijau tidak lahir dari satu kebijakan atau satu fasilitas baru, melainkan dari konsistensi langkah-langkah kecil yang dilakukan bersama dan diulang setiap hari.
Tanpa perubahan perilaku, teknologi ramah lingkungan akan berhenti sebagai ornamen modernitas.
Sering kali kita mengira bahwa kemajuan cukup diukur dari apa yang kita tambahkan: gedung baru, kendaraan baru, sistem baru.
Padahal, keberlanjutan justru menuntut keberanian untuk mengurangi, mengurangi ketergantungan pada kendaraan, mengurangi pola hidup yang terlalu cepat, dan mengurangi jarak sosial yang tercipta oleh rutinitas yang mekanistik.
Kampus sebagai ruang pendidikan seharusnya menjadi tempat pertama di mana kesadaran semacam ini tumbuh.
World Health Organization (WHO) dalam Global Status Report on Physical Activity (2022) mengingatkan bahwa kurangnya aktivitas fisik merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit tidak menular pada usia produktif.
BACA JUGA:Indonesia dan Diplomasi Moral Dunia
BACA JUGA:Sosok Mohammad Nuh, Kandidat Pjs Ketua Umum PBNU dengan Pengalaman Komprehensif
Dengan mendorong budaya berjalan kaki dan mobilitas aktif, kampus sesungguhnya sedang berinvestasi pada kesehatan jangka panjang sivitas akademika, sebuah investasi yang sering luput dari perhitungan pembangunan karena hasilnya tidak instan dan tidak selalu terlihat.
Saya membayangkan kampus sebagai ruang hidup, bukan sekadar ruang kerja.
Tempat orang bergerak, berjalan, berinteraksi, dan belajar tidak hanya dari buku, tetapi juga dari lingkungan yang membentuk kebiasaan.