Diskusi Film: The Medium (2021): To Bi Or Not To Bi, That Is The Question

Diskusi Film: The Medium (2021): To Bi Or Not To Bi, That Is The Question

Oleh:

Wimpie,

Anggota Grup Hobby Nonton

 

FILM ini bercerita tentang shamanisme, dukun santet, dan roh jahat. Shamanisme adalah tradisi spiritual dan penyembuhan yang ditemukan dalam budaya di seluruh dunia. Berkisah tentang sebuah kru film dokumenter yang meliput sebuah keluarga kecil di daerah Isan, Thailand.

Selama bertahun-tahun, keluarga kecil itu menjadi inang bagi sesosok roh bernama Bayan, yang dipuja oleh warga desa setempat. Namun, ada seorang anggota keluarga yang tak memercayai keberadaan Bayan dan memilih untuk memeluk agama lain. ’’Pembelotan’’ itu membuat Bayan mengamuk dan mengusik kehidupan anggota keluarga yang lain. Termasuk anak paling muda dari keluarga ini, Mink.

Mink juga tak percaya kepada Bayan. Dia sering dirasuki oleh ratusan roh jahat yang rupanya dipicu oleh kelakuan keluarga ayahnya di masa lalu. Demi menghentikan gangguan Bayan dan roh-roh jahat lain, Mink dan bibinya, Nim, harus melakukan sebuah ritual untuk mengunci Bayan. Aksi itu membuat segalanya menjadi mengerikan.

---

ANDA tidak sedang salah baca. Saya sengaja menulis bi bukan be. Saya sengaja mengubah penggalan kalimat paling bersejarah dalam dunia sastra, yaitu dari Hamlet kaya William Shakespeare. Bi adalah singkatan dari bingung. Alias ketidakmengertian dan kegagalan saya mencerna The Medium, film horor dari Thailand yang heboh dibicarakan orang. Katanya paling serem, paling oke, jempolan.

Nyatanya saat saya menonton, sama sekali tidak ada yang bisa saya sebut jempolan dari film ini. kecuali satu frame di mana ada ritual tahunan dengan musik tradisional Thailand yang direkam dengan sangat baik, dan diedit juga dengan sangat baik. Itu kira-kira semenit saja. Sisanya tetap membuat saya gagal paham.

Saya melontarkan pertanyaan kepada rekan-rekan di Grup Hobby Nonton. Kami sepakat, film ini mengawinkan dua aliran. Yakni dokumenter dan fiksi. Sayangnya hal itu tidak disertai naskah yang pas. Sehingga, alih-alih memunculkan kekaguman, malah saya sibuk mencela setiap tampilan yang tersaji. Saya menolaknya mentah-mentah!

The Medium gagal menghadirkan kengerian dengan banyaknya kesalahan naskah dan penyajian premis. Sehingga analogi akhirnya malah jadi amburadul. Salah satu contoh, orang kerasukan akan kesulitan menyadari barang apa yang ada di sekitarnya. Ia akan sulit bernalar, dan hanya mengandalkan napsu dan insting hewani di dalam diri manusia.

Di The Medium, adegannya justru berkebalikan. Malah orang kerasukan bisa mengambil jerigen berisi bahan bakar cair, menuang ke atas korban, menyulutnya dengan korek api. Orang kesetanan yang tenaganya berlipat ganda, cukup mencekik, menggigit atau melemparkan korban sampai tidak bernyawa. Toh ia sudah sangat kuat dan bertenaga. Ngapain musti bakar orang.

Disharmonisasi tidak berhenti sampai di situ. Masih banyak adegan lain yang membuat saya mengerutkan dahi. Sebab cara penyajiannya benar-benar absurd. Kalau mau absurd sih, sekalian The Blair Witch Project. Malahan, gaya visual dokumenter The Medium lebih mirip dokumenter Asia Food Network, daripada gaya dokumenter perjalanan wisata atau budaya.

Jadi tidak salah jika saya bingung maksimal. Entah apa yang bikin film ini dikatakan sangat luar biasa. Saya menyesal menontonnya. Enaknya bingung apa enggak ya? (Retna Christa-*)

RITUAL pengusiran roh yang dijalankan Nim (Sawanee Utoomma), bibi Mink, menjadi suguhan utama The Medium. Secara sinematografi, film ini memang patut dipuji.

Komentar 

PADA awal film, ada banyak hal yang terjadi. Suasananya agak seperti sebuah vlog traveling Thailand. Sinematografinya bagus, mampu membangun susasana yang biasa menjadi suram. Gaya mockumentary atau fake doc membawa momen realisme menjadi penuh elemen mistik. Dan background suasananya terasa unik. Tapi pas untuk film horor.

Meski pacing-nya lambat, film ini akan horor pada waktunya. Kualitas opening The Medium sebenarnya menjadi sebuah ukuran sebuah film horor cerdas. Sayangnya, saat semua menjadi memanas malah terlalu berlebihan dan berantakan. Bagus tapi masih kurang digali dalam.

Footage rekaman dokumenter memang keren. Tapi lama-lama kita akan berkomentar, ’’Seorang kameraman beneran enggak akan melakukan itu’’. Pada satu titik, ada adegan yang sedikit konyol. Yakni saat seorang gadis mengalami kecelakaan dengan menstruasinya, dan kamera mengikutinya ke kamar mandi seperti seorang psikopat. Penampilan Nailya Gulmongkolpech memang sangat mengesankan tapi terlalu klise karakternya.

Ritual akhir itu memang indah dan kreatif, tetapi tidak cukup. Saya tidak menyesal menontonnya, tapi saya juga tidak menemukan alasan untuk menontonnya lagi. Jadi selamat menonton. Oh ya, film ini mendapat rating R untuk kekerasan grafis ekstrem, ketelanjangan, bahasa, dan adegan seks.

Edwin Santioso,

karywawan swasta

MENGGUNAKAN konsep pseudo-documentary, atau semi-dokumenter, The Medium sebenarnya unik. Sayang sekali, banyak inkonsistensi yang menimbulkan pertanyaan. 

 

 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Komentar: 0