Rapuhnya Prinsip Kekeluargaan dan Politik Internal NU
KH Imam Jazuli Lc--
HUBUNGAN yang memanas antara Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf, mengajarkan pada publik betapa sulitnya membangun kerukunan dan harmoni. Bahkan semangat membangun perdamaian dunia yang digaungkan sejak Muktamar di Lampung, seperti terlalu berlebihan.
Perasaan semacam ini juga disampaikan oleh Ketua DPW PKB Jawa Tengah KH Yusuf Chudori. Menurut Gus Yusuf, "kita ini heran, di keluarga kita sendiri, kalau ada keluarga kita sendiri punya hajat, punya cita-cita besar, direcokin, diganggu. Sementara tetangga justru malah dipuja-puja. Aneh di keluarga ini."
BACA JUGA:Gusdurian Harus Move On, Mbak Yenny Wahid Stop Provokasi
PKB dilahirkan dari rahim NU. Hubungan PKB dan NU bersifat kekeluargaan. Namun, dalam keluarga besar NU ini, ada penyakit yang susah disembuhkan. Seperti kata Gus Yusuf, apabila ada salah seorang dari anggota keluarga yang punya hajar besar, ingin menjadi presiden di republik ini, maka selalu ada upaya-upaya merecoki dan mengganggunya.
Gus Yusuf menjadi sangat heran dan merasa aneh dengan kenyataan pahit di keluarga NU semacam itu. Padahal, menurut Gus Yusuf, "Gus Muhaimin itu kurang apa, itu kakak kita, senior kita, keluarga kita, Gus kita, kelahiran NU, tulang darahnya hijau, semua gak ada yang diragukan. Tapi malah direcokin. Tapi justru ketika ada orang lain masuk, malah dipuja-puja. Sifat seperti ini gak boleh. Gak boleh sifat seperti ini. Apapun yang namanya saudara, apapun yang namanya keluarga, ini harus kita bela semampunya."
Gus Yusuf bersikap objektif tatkala menyebut kebiasaan buruk dalam keluarga NU tersebut. Misalnya, Menteri BUMN Erick Thohir langsung diangkat menjadi anggota kehormatan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) setelah lulus Diklatsar (NU Online, 28 November 2021).
Sejak pengangkatan Erick sebagai anggota kehormatan itu, komunikasi antara Erick Thohir dan Gus Yahya semakin intensif. Dengan nada percaya diri, Gus Yahya mengatakan pihaknya telah meminta Erick Thohir sebagai anggota Banser menindaklanjuti pembangunan gedung baru PBNU (NU Online, 6 Januari 2022).
Tentu saja tidak ada makan siang gratis, kata pepatah lama. Itu pula yang terjadi antara Erick Thohir dan PBNU. Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS) baru-baru ini merilis survei yang menempatkan nama Erick Thohir, Menteri Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi salah satu nama calon presiden (capres) paling diminati warga Nahdlatul Ulama (Bisnis.com, 14 April 2022).
Perlakuan lemah lembut PBNU di bawah komando Gus Yahya terhadap Erick Thohir tidak semanis terhadap Ketum PKB Muhaimin Iskandar. Bahkan lebih manis kepada Ketum Golkar Airlangga Hartarto. Misalnya, Gus Yahya mengatakan, “Kalau sekarang beliau masih Menko Bidang Perekonomian, Insya Allah saya doakan di masa mendatang naik kelas menjadi atasannya menteri.” (Tempo, 4 Maret 2022).
Ada sifat buruk yang semestinya tidak terjadi di kalangan sesama anggota keluarga NU, baik atas nama Jam'iyyah (organisasi) ataupun Jama'ah (warga); baik secara kultural maupun struktural. Ketika Gus Yahya sebagai Ketum PBNU mendoakan Ketum Golkar Airlangga Hartarto di masa depan menjadi "atasannya menteri" (presiden), maka itu tidak adil bila dibandingkan dengan sikapnya yang melarang para pengurus PCNU Banyuwangi mendukung dan mendoakan salah satu Capres?!
Sejatinya rusan adil tidak adil, fair dan unfair, bukan hal penting bila sejak awal memang bertujuan merecoki dan mengganggu sesama anggota keluarga NU yang punya hajat besar. Namun, pelajaran yang jauh lebih berharga dibanding hajat lima tahunan ini adalah kenyataan bahwa elite-elite NU gagal total menjaga ukhuwah Jam'iyyah maupun ukhuwah Jama'iyyah. Konsekuensinya, visi membangun perdamaian dunia yang selalu dibanggakan dan digaungkan adalah omong kosong di siang bolong.
Rapuhnya Prinsip Kekeluargaan dalam tubuh NU ini juga merepresentasikan rapuhnya konsolidasi internal politik mereka. Seperti buih di lautan, banyak bergelombang namun berhamburan dan bercerai berai. Tidak kokoh seperti sebongkah karang, walaupun kecil tapi tahan hantaman gelombang laut. Pilpres 2024 akan menjadi batu ujian apakah warga NU memang buih di lautan yang terombang-ambing ke berbagai partai politik, ataukah bongkahan karang yang kokoh tak mudah dipecah belah. Wallahu a'lam bis shawab. (*)
*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: