PKB dan Ijtihad Akseleratif-Tranformatif

PKB dan Ijtihad Akseleratif-Tranformatif

Fauzan Fuadi--

DALAM sebuah diskusi, Fransisco Budi Hardiman, filsuf dari STF Driyarkara ditanya salah satu audiens. "Apa hakikat demokrasi". Doktor filsafat lulusan Hochschule fur Philosophie Munchen Jerman itu menjawab. Demokrasi per definitionem adalah –seperti dirumuskan secara padat dalam istilah Jerman- regierung der regierten (pemerintahan dari mereka yang diperintah). Artinya, F.B Hardiman mengajak kita untuk memaknai demokrasi secara substantif. Bahwa, jika demokrasi ingin maksimal, celah di antara dua pemilihan umum harus diisi dengan aktivitas politis dalam arti seluas-luasnya. "Jangan mendadak demokratis saat mau ada Pemilu saja," ujar Hardiman.

Jawaban tersebut bermakna lebih luas dibandingkan telaah dari kebanyakan ilmuwan politik tentang makna demokrasi. Cornelis Lay, misalnya. Merujuk pada karya klasik Linz dan Stephan, mendiang Guru Besar Ilmu Politik UGM itu menekankan penting liberalisasi politik sebagai elan vital demokrrasi. “Pemilu adalah representasi utama dari liberalisasi politik," ujar Pak Cony, panggilan akrabnya. Dengan kata lain, secara formil, sebuah negara sudah sah menyandang gelar negara demokratis jika bisa menyelenggarakan Pemilu. Akan tetapi secara substantif, belum tentu nilai-nilai demokrasi sudah berkembang di negara tersebut.

BACA JUGA:Fakta Pernyataan Cak Imin tentang Tingkat Pengaruh Politik PBNU terhadap PKB

Apa relevansi menghadirkan perdebatan mengenai demokrasi dengan momentum refleksi hari lahir PKB? Persis di jantung argumentasi tentang hakikat demokrasi substantif, PKB terus tumbuh berkembang menjadi partai modern. Di bawah kepemimpinan Abdul Muhaimin Iskandar (Gus Muhaimin), kami sebagai kader PKB terus ditempa untuk menjalankan kerja-kerja politik dalam rangka melayani publik tidak hanya menjelang Pemilu saja. Melainkan harus intens dilakukan sepanjang waktu. Meminjam istilah Hannah Arendt, politik harus dimaknai sebagai seni (untuk) mengabdikan diri.

Bagi Gus Muhaimin, PKB dan seluruh kadernya harus terus menerus berijtihad melakukan akselerasi-akselerasi politik yang transformatif setiap waktu. Rujukannya tidak perlu jauh-jauh mencari dari khazanah filsafat politik Eropa Barat. Cukup kita teladani salah satu paradigma manhaji dan kerangka metodologis yang bersumber dari tradisi ilmiah pesantren Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyah di Nusantara. Yaitu, “Al-Muhafadzah ala al-Qodim al-Shaleh wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah.“  Maknanya kurang lebih, jalankan paradigma lama yang masih dianggap baik, dan laksanakan paradigma baru yang dianggap lebih baik. Dalam dialektika manhajul fikr ala Islam Nusantara itulah Gus Muhaimin menahkodai PKB mengarungi bahtera politik Indonesia yang penuh ombak dan karang.

Sebagai manifestasi dari prinsip kerja yang akseleratif dan transformatif, Gus Muhaimin sering memberi instruksi: “tidak harus menunggu Pemilu untuk dekat dengan rakyat. Setiap waktu, setiap saat, lebah-lebah PKB harus turun menyapa rakyat. Layani rakyat. Rebut hati rakyat.“ Demikian instruksi Gus Muhaimin dalam berbagai kesempatan. Karena itu muncullah berbagai tagline yang menjadi kredo politik kader-kader PKB. Misalnya #AksiMelayaniIndonesia, #PKBMelayani, #PKBRebutHatiRakyat, hingga tercetus “filosofi lebah“ untuk menegaskan posisi politik PKB sebagai pelayan publik selayaknya peran yang diambil sekawanan lebah. Sehingga, jangan heran kalau kita lihat logo PKB sekarang, terdapat gambar lebah di sudut kanan atas.

 

PKB dan Filosofi Lebah

Lebah adalah serangga yang relatif istimewa dibandingkan spesies sejenisnya. Karena itu Allah mengabadikan nama lebah menjadi salah satu surah dalam Al-Qur’an, yakni surah ke-16, An-Nahl. 

Lebah mempunyai posisi istimewa karena merupakan makhluk Allah yang banyak menghadirkan kemanfaatan bagi manusia dan habitat di sekitarnya. Selain, banyak memberi manfaat dan kenikmatan bagi manusia, lebah juga berperan menciptakan keseimbangan alam dengan membantu penyerbukan. Bahkan dari perut lebah-lebah tersebut, keluar cairan bernama madu yang berkhasiat menjadi obat banyak sekali rupa-rupa penyakit.

Secara ringkas, setidaknya ada lima keistimewaan lebah yang dapat menjadi inspirasi bagi kader-kader PKB untuk menjalankan peran politiknya. (1) Suka hinggap di tempat-tempat yang bersih; (2) Hanya menyerap zat-zat yang bersih; (3) Menghasilkan sesuatu yang bersih; (4) Tidak merusak tempat yang dihinggapi; dan (5) Tidak melukai kecuali lebih dulu diganggu.

Bertitik pijak dari filosofi tersebut, Gus Muhaimin mencanangkan bahwa nilai-nilai kebaikan lebah menjadi dasar dari diskursus (kerangka berpikir sekaligus praktik keseharian) baru di internal kader-kader PKB. Kaidahnya sederhana. Bahwa jelas disebut dalam Al-Qur’an, “khoirunnas anfauhum linnas .“ Yaitu sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya. Ini adalah manifesto. Di usia yang semakin dewasa, PKB harus meningkatkan level kemanfaatannya kepada rakyat.

Secara praksis, sesuai dengan tupoksinya, sebagaimana dijelaskan oleh Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Prof. Miriam Budiardjo, setidaknya ada tiga fungsi dasar partai politik: (1) sarana komunikasi politik; (2) melakukan rekrutmen dan Pendidikan politik; (3) melakukan agregasi kepentingan publik untuk diformulasikan menjadi kebijakan publik. Dalam konteks implementasi fungsinya sebagai partai politik, PKB menempatkan filosofi lebah sebagai fondasi utamanya. Yakni, bagaimana formulasi kebijakan partai terkait komunikasi politik, rekrutmen dan pendidikan politik (termasuk distribusi kader) dan proses agregasi aspirasi publik menjadi rancangan kebijakan publik didasarkan atas prinsip-prinsip kemaslahatan.

Dari situ, semakin hari semakin kentara bahwa PKB di bawah kepemimpinan Gus Muhaimin telah bertransformasi menjadi partai yang berkarakter, ideologis, solid sekaligus modern. Oleh karenanya PKB semakin disegani, baik oleh kawan maupun “lawan”. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: