Meluruskan Makna Politik Identitas Versi Gus Yahya: Ketum PBNU
KH Imam Jazuli Lc--
BELAKANGAN ini, wacana politik identitas kembali mencuat. Misalnya, ketum PBNU mengatakan pihaknya akan selalu melawan politik identitas. Sebenarnya, apa makna politik identitas?
Kamus Oxford mendefinisikannya sebagai: a tendency for people of a particular religion, race, social background, etc., to form exclusive political alliances, moving away from traditional broad-based party politics.
Jadi, politik identitas tidak terbatas pada alasan agama untuk berpolitik. Bahkan, latar belakang masalah sosial juga bisa menyeret seseorang pada praktik politik identitas. Politik identitas hanya dicirikan dengan karakteristiknya yang eksklusif. Siapapun yang memiliki pandangan politik yang eksklusif, ia disebut pelaku politik identitas.
BACA JUGA:Gus Mis, Muslim Moderat dan Diplomasi Intelektual
Eksklusivitas menjadi batu sandungan dan pagar pembatas bagi seseorang untuk beraliansi dengan orang lain. Atau, mencegah organisasi politik, termasuk organisasi kemasyarakatan, dari beraliansi.
Ketum PBNU Gus Yahya mengatakan, pihaknya akan melawan politik identitas, mungkin memiliki tujuan positif. Yaitu, agar NU tidak menjadi motor penggerak partai politik tertentu, katakanlah semisal PKB. Sebagai konsekuensinya, warga Nahdliyyin ataupun pengurus NU tidak boleh mendeklarasikan dukungan pada parpol atau politisi tertentu. Sebaliknya, hanya boleh berafiliasi atas nama personal.
Pada titik ini, pernyataan sikap Gus Yahya sudah mampu menghalangi atau menjauhkan warga NU dari partai politik. Atau, bisa disebut -moving away from traditional party politics-. Sudah jamak diketahui, sejak 1998 , kanalisasi suara Nahdliyyin bermuara pada PKB. Terbukti, Gus Dur sebagai pendiri PKB menjadi presiden.
Sikap menghalangi warga Nahdliyyin ke PKB adalah bentuk politik identitas itu sendiri. Tentu saja bukan dilatarbelakangi agama, melainkan atas nama politik kebangsaan dan situasi sosial tertentu. Politik kebangsaan yang diartikan sebagai ketidaktertiban dalam politik praktis atau politik kekuasaan, sejatinya, adalah identitas itu sendiri.
Gus Yahya membawa PBNU dari satu identitas ke dalam identitas lain. Dari politik kekuasaan ke dalam politik kebangsaan. Dari satu eksklusivitas ke dalam eksklusivitas lain. Cressida Heyes (2002) pernah mengatakan, politik identitas lahir dari paradigma opresi, dan membuat alat analisis untuk melihat opresi itu bekerja.
Gus Yahya mengatakan, "Yang kita inginkan adalah NU tidak menjadi pihak dalam kompetisi politik, NU secara institusional, secara kelembagaan tidak menjadi pihak dalam kompetisi politik. Itu adalah keputusan muktamar 1984 lalu," (DetikNews, Mei, 2022).
Melihat produk keputusan Muktamar ke-27 Situbondo 1994, tanpa konteksnya, akan menyebabkan lupa pada logika di balik kembali ke Khitthah dan tidak berpolitik praktis. Saat itu, NU, ormas Islam, dan parpol Islam berada dalam represi dan opresi Orde Baru, Soeharto.
Hari ini, era Reformasi tidak menghalalkan bentuk opresi apapun. Karenanya, memakai logika yang lahir di abad 20 di abad 21 ini tidak bijaksana. Bahkan, condong NU menerapkan politik identitas atas nama kebangsaan, kemudian keluar dari gelanggang politik di era kebebasan reformasi. Semoga itu tidak terjadi. Wallahu a'lam bis showab. (*)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: