Alat Puruhito

Alat Puruhito

Prof Dr Puruhito.--

USAI senam pagi saya buka HP. Ups... Sudah ada WA dari Prof Dr Puruhito: 06.44. Soal tulisan di Disway edisi kemarin.

Anda sudah tahu: beliau perintis bedah jantung di Surabaya. Pernah jadi rektor Universitas Airlangga. Keahliannya diperoleh dari Jerman.

Prof Dr Tahalele adalah muridnya. Puruhito yang minta Tahalele memperdalam ilmu bedah jantung di Jerman. Di Universitas yang sama. Dari guru besar yang sama.

Kini Prof Tahalele sudah pensiun. Sudah empat tahun. Sudah pindah ke universitas swasta. Tahalele jadi dekan fakultas kedokteran di Universitas Katolik Widya Mandala.

Berarti betapa seniornya Prof Puruhito. Di usia 79 tahun, beliau masih aktif. Mengajar. Menguji. Menulis. Badannya sehat. Tegap. Perutnya rata.

Sudah delapan buku Puruhito diterbitkan. Semua jadi pegangan di universitas. Misalnya buku Kolokium Bedah, Pengantar Bedah Vaskulus, Dasar-Dasar Pemberian Cairan dan Elektrolit pada Kasus-Kasus Bedah. Dan banyak lagi.

Saya pun minta izin: agar WA jam 06.44 itu bisa diterbitkan di Disway. Bukan saja penting, tulisan Prof Puruhito kali ini seperti bukan tulisan gaya lama beliau. Ini seperti Puruhito muda kembali. Sejak beliau sendiri menjalani operasi bedah jantung 8 tahun lalu, tampilan beliau seperti lebih muda. (Dahlan Iskan)

Inilah WA pukul 06.44 itu:

***

MEMBACA tulisan Anda dengan judul Rebutan Alat, saya jadi ”malu” (maaf pakai tanda petik). Malu sebagai dokter. Bahwa memang terjadi apa yang Anda sampaikan itu. Di rumah sakit, ya memang begitu adanya.

”Malu” karena terjadi ”aib”. Seharusnya tidak pantas ada  dokter seperti itu, mengingat ”sumpah dokter” yang pernah diucapkan waktu dilantik sebagai dokter. Hal itu seolah telah melanggar sumpah itu. Khususnya dalam konteks ”kesejawatan” (”Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagai saudara kandung”). Juga pada pengabdian kepada pasien (”kepentingan pasien akan saya utamakan”).

Menjadi direktur RS (di Indonesia saja?) memang rupanya tidak ”mudah”. Saya masih ingat kata dr Soeroso, mantan direktur RSUD dr Soetomo sebelum dr Djoni Wahyudi. dr Suroso  mengatakan, menjadi direktur RSUD ternyata lebih ”rumit” ketimbang menjadi bupati. Beliau memang mantan bupati (Madiun/ Nganjuk?)

Saya tidak pernah jadi direktur RS, tapi sebagai mantan rektor juga menemukan problem yang hampir sama antara rektor PTN (waktu itu belum PT BH) dengan rektor PTS.

Untuk rumah sakit, sekarang makin ”rumit” dengan adanya ”macam-macam" RS: RS-Vertikal seperti di Kupang. Di Surabaya juga akan dibangun RS Vertikal. Ada lagi RSUD (milik Pemprov atau Pemkot/ Pemkab). RSUD dr Soetomo dan RS Haji Surabaya adalah ”milik” Pemprov Jatim. RS BDH dan RS Soewandi ”milik’ Pemkot Surabaya). Ditambah lagi ada RS-Universitas (yang ada di hampir semua PTN di Indonesia (RS USU, RS UI, RS UGM, RS UA,  dan seterusnya) yang ”milik” Rektor (?) atau milik PT terkait? atau milik Kemendikbudristek? Walah, jadi rumit. Itu di bawah  Kemenkes atau Kemendikbudristek? (sebagai mantan rektor saya juga tidak bisa menjawab dengan tepat). Apalagi juga disebut ”Rumah Sakit Pendidikan” – Vertikal ? RS Daerah ? (mungkin perlu bantuan para ”sahabat Disway” atau ”perusuh Disway” untuk ”membanding-banding ké” RS-RS tersebut.)

Contohnya RSUD dr Soetomo. Sudah berpuluh tahun sebagai ”RS Pendidikan di Unair”. Sekarang ada RSU Airlangga yang juga ”RS Pendidikan Unair”. Kami di prodi pendidikan spesialis juga punya ”RS Jejaring”. Yakni untuk membantu pendidikan spesialis (upaya ”percepatan Pendidikan Spesialis” – seperti Anda tulis beberapa waktu lalu). Ini wewenang Kemenkes kah atau Kemendikbudristek?

Rumit juga ya?

Nah, yang Anda tulis tentang ”rebutan alat” itu (termasuk yang membuat saya ”malu” tadi) memang ”terjadi” di beberapa sektor. Maaf, karena Anda juga menyebut SpBTKV yang ikut rebutan, tapi bukan dengan SpA tapi dengan Cath-Lab (di RSUD dr Soetomo sudah tidak lagi, tapi di RS lain juga di luar Surabaya masih ada). Malah pernah ada Permenkes yang menyebutkan tentang penggunaan alat radiologi dan  juga ”kebijakan direktur” setempat. Yang pasti (seperti Anda tulis) tidak ada di RS Swasta. Tapi toh pernah terjadi ”penguasaan alat” oleh spesialis tertentu dengan memblokir hari-hari penggunaan alat tersebut. Dan direktur tidak mampu mengatasinya karena ”kalah wibawa” dengan spesialis tersebut.

Problem itu juga terkait dengan ”azas monoloyalitas” (satu dokter satu SIP atau satu tempat praktek). Yang pasti perubahan soal ini akan membuat banyak dokter (termasuk spesialis) akan protes. Sekarang SIP dibatasi hanya 3 tempat praktik/Rumah Sakit.

Pasti direktur RS akan ”senang” bila para dokter itu ”loyal” bekerja HANYA di RS nya saja. Dari pagi sampai sore/malam. Bahkan sekalian ”praktik” di RS nya itu juga. Itu memang ideal. Seperti di beberapa negara lain.

Di Singapore saya kenal beberapa spesialis khusus yang bekerja di lebih dari satu RS. Tapi di Jerman sejauh ini memang semua dokter ”loyal” hanya bekerja di satu rumah sakit, dari pagi sampai sore. Kebijakan ”monoloyalitas” ini memang ideal untuk keperluan pendidikan spesialis yang ”hospital based” (lagi ribut juga masalah ini), karena ”dokter-guru-pendidik” bisa konsentrasi membimbing calon spesialis.

Cuma saat ini jumlah pendidik inilah yang masih terbatas,  hanya ada di kota besar. Sementara itu para “dokter pendidik” ini juga perlu “tambahan penghasilan” dengan punya SIP di RS lain. Jadi dilematis kalau harus ”monoloyal”. Terjadinya ”rebutan alat” juga karena sebab-sebab tersebut.

Semua itu menjadikan ”rumit” nya menjadi direktur RS Pemerintah (Vertikal, Pemprov, Pemkot/PemKab) atau bahkan direktur RS Pendidikan (masih ”RS Pemerintah”).

Entahlah bagaimana kelak kalau ada RS Swasta yang menjadi ”RS Pendidikan Spesialis” seperti wacana yang sudah mulai ada ke arah sana. Saya tahu ada RS Swasta yang punya CEO dan juga punya  direktur RS, tapi yang ”kuasa” adalah CEO nya. Maaf saya tidak punya gelar “MARS” mungkin kurang tepat menyebut hal ini.

Mungkin kelak juga harus ada gelar “MAU” (Management Administrasi Universitas – Sekolah Rektor) untuk mengelola RS Pendidikan sebagai “milik” Rektor/PT.

Saya masih ingin komentar panjang, tapi rasanya hal ini sudah cukuplah sedikit memberi masukan untuk Anda, dari sudut pandang seorang pensiunan rektor, masih mendidik spesialis di RSUD (yang bukan Vertikal, dengan segala keterbatasan pengadaan alat-alat canggih.

Apalagi waktu saya masih muda dulu, sulit sekali  memperoleh alat-alat untuk melaksanakan bedah jantung.

Untung saya tidak pernah punya jabatan struktural pimpinan di RSUD dr Soetomo. Di hari tua ini saya tetap mendidik agar tidak lupa dan tidak ”nganggur”.

Semoga Pak Dahlan yang saya kagumi, tetap sehat (saya salut betul karena saya tahu Anda punya ”hati” khusus yang dirawat dengan obat-obat hebat dan kesehatan yang prima bisa selalu berkelana ke mana-mana tanpa lelah, menikmati kuliner dan durian Musangking...).

Prof Dr dr Puruhito (*)

 

Komentar Pilihan Dahlan Iskan*

Edisi 28 Desember 2022: Rebutan Alat

John Prasetio

Terlihat jelas ada sedang upaya sabotase dan distorsi masalah pelayanan kesehatan. Masalah alat-alat di Rumah sakit tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah kebijakan pemerintah perihal peralihan sistem pendidikan profesi dari University Based kepada Hospital Based. Masalah utama dan pertama sistem pelayanan kesehatan di Indonesia adalah terletak pada jumlah dokter sub-spesialis (Konsultan). Dengan meningkatkan jumlah dokter sub-spesialis (Konsultan) maka otomatis akan disertai dengan penambahan jumlah dokter spesialis dan dokter umum (general practioners). Sesuai dengan usulan dan masukan pada kolom Komentar yang ditujukan kepada Pemerintah c.q. Menteri Kesehatan pada artikel "Salah Kaprah Tentang Dokter" tanggal 13 Desember 2022, masalah utama pada regulasi & peraturan dibidang kesehatan terletak pada keterlibatan, kekuasaan, dan kewenangan yang diberikan oleh negara kepada Asosiasi Profesi Kedokteran (IDI), Konsil Kedokteran Indonesia, Kolegium Kedokteran, dokter-dokter, ormas-ormas, asosiasi farmasi, asosiasi rumah sakit, dll. Pemerintah menjadi tersandera sendiri karena ulah kebijakannya yang memberikan wewenang, dan kekuasaan kepada pihak-pihak non-pemerintah. Satu-satunya solusi adalah mereformasi besar-besarnya dgn mencabut seluruh kewenangan & kekuasaan pihak-pihak non-pemerintah. Organisasi profesi, para dokter, Konsil Kedokteran, Kolegium, dll dapat memberikan masukan dan saran kepada Pemerintah tetapi harus ditempatkan diluar sistem dari kepemerintahan.

 

EVMF

”Minggu ini akan kita keluarkan permenkes penggunaan alat-alat itu,” ujar Menkes Budi Sadikin kepada Disway. ”Prinsipnya, siapa pun yang punya kompetensi harus boleh menggunakan alat tersebut,” tambahnya. Bapak Menteri Kesehatan yang sepertinya "terlalu pintar" : masalah yang perlu diatasi BUKAN pengaturan penggunaan alat-alat kesehatan, TETAPI mesti diupayakan Kecukupan Peralatan Kesehatan !! Misalnya saja Cathlab yang sedang dipakai oleh Bagian Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah (SpJP) dengan antrian pasien yang saaaaangaaaaat panjaaaaaaaaaang, tentu saja akan kesulitan untuk berbagi penggunaan dengan Bagian Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Kardiovaskular (SpPD-KKV) ; apalagi "kepanikan" keluarga pasien yang terus mendesak untuk mendapatkan jadwal penanganan medik secepatnya. Lha kalau Bagian Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah (SpJP) sudah melakukan penjadwalan, sudah pasti mereka akan ngotot untuk menggunakan Cathlab tersebut, sebagai pertanggung-jawaban terhadap pasien !! Mengapa tidak disediakan 2 Cathlab untuk 2 bagian berbeda tersebut, yang sama-sama sangat membutuhkan alat vital tersebut !!

 

Liam Then

APBN 2022 sebesar 3.106,4 triliun rupiah, dengan penerimaan cukai rokok yang kurang lebih 5-6 persen dari APBN negara. Bisa di artikan rakyat indonesia yang merokok membiayai 5-6 persen APBN dengan merusak kesehatan mereka. Rp188 triliun pendapatan cukai rokok per November, jika di dollar-kan setara dengan 11,7 miliar dollar. Livelpool harganya "cuma" 5 em dollar. Ibaratnya perokok Indonesia belum genap 2022 habis, duit cukainya sudah bisa buat beli dua Liverpool , masih ada sisa 1 em dollar buat operasional. Unilever perusahaan blue chip basis Inggris , 129.33 em dollar nilainya. Bisa di ibaratkan , perokok Indonesia duit cukai 2022 nya bisa buat beli hampir 10 persen kepemilikan Unilever pusat. Yang forecast pendapatan usahanya stabil di 60 miliar dollar/ tahun selama lima tahun kedepan. Artinya jika duit cukai rokok 2022 di hemat, kemudian buat di belikan kemilikan saham Unilever hampir 9 persen, lumayan aman. Ada potensi menghasilkan buat 5 tahun kedepan. Dan tentunya , dengan pameo ada uang enak belanja, pemerintah bisa dapat duit heran saban tahun. Jadi bisa di belikan macam alat-alat rumkit canggih. Terakhir, duit rp188 triliun kalo dibelikan krupuk,mungkin bisa bikin seisi Tiongkok batuk-batuk.

 

Johannes Kitono

Kemarin pagi dapat wa call Pak Pry yang beruntung terpilih sebagai peserta Agrinex Camp di penghujung tahun ini. Beliau dapat bocoran dari mb Pipit Disway bahwa di kampung Agrinex tidak ada fasilitas air panas. Nah ini masalahnya, Pak Pry kalau tidak mandi air panas tidak bisa tidur. Tentu tidak seperti film 007 James Bond, dimana saat sang aktor kedinginan salah satu pemanasnya adalah memeluk cewek cantik lawan mainnya.Jadilah panas luar dalam dan bisa juga kepanasan. Saran buat Pak Pry, contohlah juragan disway ketika masih jadi sesuatu dan saat rapat dengan wakil rakyat di Senayan. Dibalik jaketnya selalu ada botol aqua yang berisi air hangat. Mungkin saat rapat yang umumnya hanya basa basi saja beliau membayangkan botol aqua yang hangat itu salah satu Bond's Girls.Jadi Pak Pry silahkan bawa botol aqua dengan berbagai ukuran.

 

Pryadi Satriana

Bukan begitu, saya sdh terbiasa mandi dg air hangat/panas, apalagi di musim hujan begini. Juga biasa menyediakan air hangat/panas utk diminum waktu terbangun tengah malam. Masuk angin atau pun air dingin untuk mandi bisa jadi masalah 'serius' buat saya. Diminta bawa teko listrik - masih dicek sama Mbak Pipit ketersediaan daya listriknya - dan juga termos. Lha ini kukira 'Kampung Agrinex' adalah 'kampung agro -wisata', lha ternyata kok 'kampung tenanan'? Lha gimana mau narik 'turis asing', lha wong 'turis lokal' ae 'maju-mundur' ngene? Memang sudah konfirmasi keberangkatan, tapi tokek di kamar saya berbunyi, "Ora ... berangkat ... ora ...berangkat ...". #nginep gratis, kondisi 'sak ada-e', masuk angin urusen dewe#

 

Johannes Kitono

Idealnya seorang direktur bukan profesi dokter. Tapi alumni Public Health atau FKM yang juga menyandang MBA. Karena bukan dokter tentu bukan anggota IDI dan tidak perlu sungkan sama para dokter senior. Nasibnya tidak akan seperti Dr Terawan Menkes yang dipecat oleh koleganya.Sebagai penyandang MBA tentu direktur bisa hitung efisiensi peralatan dan kapan paybacknya sehingga bisa investasi lagi alat baru yang lebih canggih.Tentu yang jadi masalah apakah ada penyandang SKM dan MBA yang bersedia jadi Direktur di RSUD ?

 

Andrie Bagia

Saya ingin ikut komentar abah. Ini komentar ketiga saya di disway. Saya penasaran apakah birokrasi pendaftaran-pelayanan-pembayaran RSUP sebagus swasta. Anak kedua saya sakit hingga harus dirujuk ke RSUD tingkat provinsi di Jawa Timur dan RS orthopedi rujukan nasional di Jawa Tengah. Kesimpulan saya sama: pelayanannya bagus, stafnya ramah, tapi birokrasinya mbulet dan rumit. Entah siapa penanggung jawab pembuat prosedurnya. Bagi orang sehat dan ada uang untuk transport mungkin bisa menjalaninya. Bagi yang tidak punya dua hal itu, rasanya sulit. Di RS Jawa Timur ini saya melihat suami istri umur 70-80 tahun berobat rawat jalan. Sang suami sakit dengan kursi roda didorong istrinya yang berjalan begitu pelan. Tidak ada yg lain membantunya. Hanya berdua. Tidak bisa dibayangkan jika harus rawat inap seperti anak saya yang pengurusan berkasnya seperti bola pingpong. Pindah dari satu ruang ke ruang lain, satu gedung ke gedung lain. Di RS Jawa Tengah, ada satu keluarga dari Jambi yang sudah 4 kali bolak-balik RS ini tiap minggu karena memang dirujuk ke sini. Biaya berobatnya tidak seberapa, ongkos pulang perginya bisa dihitung sendiri. Masalah kedua ini juga perlu kajian tersendiri.

 

Rahma Huda Putranto

Abah DI, mohon izin memberikan masukkan untuk tema tulisan esok hari. Ada fenomena menarik dalam persidangan Bharada E. Seorang filsuf sekaligus rohaniawan sekelas Romo Magniz bersedia menjadi saksi ahli. Tidak tanggung-tanggun, diberitakan dengan jelas. Beliau menjadi saksi ahli yang meringankan. Tentu ini kejadian yang menarik. Seorang begawan mau turun gunung. Pasti ada pertimbangan mendalam dari beliau. Mohon bisa dituliskan, bah. Saya yakin sesuatu di baliknya bakal menjadi pelajaran baik untuk kita semua.

 

Denny Herbert

Di Flores juga untuk operasi katarak, yg sebenarnya lebih sederhana dibandingkan open surgery lainnya, belum bisa.. kasihan sekali. Padahal tinggat katarak sangat tinggi di Flores bagian pesisir karena UVnya sangat tinggi.. jadi kebutaan dini sangat tinggi di sana. Bila sudah buta akhirnya produktivitas menurun dan menyusahkan orang lain karena harus dibantu... Mohon pemerintah bisa bantu masalah ini...

 

Alex Ping

Masalah kurangnya dokter spesialis lagi diatasi, muncul masalah kurang alat, kurang alat lagi dicarikan solusi sudah ribut pengelolaannya. Bahkan keputusan direksi seakan harus sama dengan keputusan dokter 'berwibawa'. Jika hal ini ditanyakan kepada seorang mantan gubernur, maka beliau akan menjawab dengan mudah: "Sebenarnya hal ini sudah saya analisa jauh sebelumnya, mana bisa menteri kesehatan mengatur rumah sakit, menteri kesehatan ya harusnya mengatur rumah sehat."

 

Jimmy Marta

Kalau SOP pemakaian peralatan saja sampai menkes yg buat, itu terlalu. Harusnya itu bisa dibuat kepala bagian medik nya RS. Paling tinggi sang Dirut nyalah. Jika di rumah sakit tsb ada keberpihakan pd spesialis tertentu untuk menguasai peralatan spesial, ambil langkah spt penunjukan menkes. Dirut nya dipilih bukan dari dokter. Ambil setingkat manager. Yg ahli manajemen.

 

Leong putu

Baiknya Pak mentri membuat aturan secara menyeluruh untuk rumah sakit. Mulai dari parkir, tarif parkir,cara parkir. Lanjut peraturan mengenai karyawan, usia karyawan, cara berpakaian, cara berbicara, cara melayani, semua hal yang berkaitan dengan karyawan dibuatkan Bapak menkes. Lanjut ke pelayanan. Antrian pasien, Rekam medik, rawat inap, tarif layanan, kamar rawat inap, poli rawat jalan. Apotek, lama antrian ambil obat, senyum petugas apotek. Semua di atur Pak Menkes. Lanjut kebersihan Rumah sakit, cat tembok, kebersihan WC , taman², larangan merokok di RS, kebersihan got, kebersihan dapur. Semua hal yang menyangkut kebersihan diatur Pak Menkes. Alkes, semua yg atur pak Menkes, sampai jadwal pemakaiannya pun harus seijin pak Menkes. Dokter juga harus diatur pak Menkes, jadwal kerjanya juga sekalian. Intinya, semua yang berkaitan dengan pekerjaan di rumah sakit pemerintah.diatur oleh pak Menkes. Agar kepala rumah sakitnya bisa lebih fokus. Lebih fokus melayani istri atau suaminya. ... Akhirnya... Ini komen saya yang paling serius yang pernah saya buat, sambil ngopi sachetan bareng istri. Tanpa madu.

 

Jo Neka

Harga karcis.parkir juga ya om Leong..

 

Om Diki

sejak Indonesia merdeka, baru kali kali ini CDI menulis artikel yang bagus.

 

Yuli Triyono

Soal rebutan memang sudah kodratnya manusia, ada dimana-mana. Di Qatar kemarin rebutan bola, di sini rebutan alat kesehatan modern.

 

Jokosp Sp

Alatnya bisa canggih. Namun manusianya tidak bisa canggih. Kenapa harus Pak Menteri sampai turun tangan harus bikin aturan pemakaian alat. Bodoh sekali, kurang kerjaan, dan harus ribet seperti itu. Menguras banyak tenaga dan pikiran. Ayak - ayak wae kata orang. Sesederhana pengaturan di swasta. Kalau cukup oleh " Direktur " Rumah Sakit, kenapa harus sampai ke Menteri ?. Aturan dibuat untuk ditaati, bukan untuk dilanggar. Justru ada aturan siapapapun yang melanggar bisa kena sangsi atas pelanggaran itu. Alat dibeli dengan sangat mahal, itu harus produktif, harus maksimal jam pemakaiannya. Uang pembelian harus cepat kembali, dan sebelum depresiasi alat misal 5 tahun habis. Di swasta selalu memperhitungkan itu. Misal beli alat 5 milyar, maka akan dibagi 5 thn x 365 hari/ tahun x kerja alat misal 20 jam/ hari --> Rp 5.000.000.000,- : ( 5 Thn x 365 hari) : 20 jam/ hari = Rp 136.986,-/ jam. Swasta selalu mau untung untuk beli alat baru. Kemudian agar tidak ketinggalan teknologi maka tinggal ngalikan penjualan (sewa) per jamnya misal 4x lipat jadi Rp 136.986,-/ jam x 4 = Rp 547.944,-/ jam ( ini akan lebih besar misal dimasukkan biaya produksi termasuk di dalamnya biaya listrik, biaya spare part, biaya maintenance, dan biaya operator per jam ). Di swasta tidak ada yang sulit mengenai aturan. Jelas dan tegas. Pelanggar harus ada sangsi, termasuk yang tidak bisa mengoperasikan alat jadi produktif. Itu biasa disebut tidak kompeten. Ya dimundurkan, ganti orang lain. Semudah itu.

 

No Name

Kalo demikian halnya, tambah bbrp persyaratan utk menjadi Dirut RS ; 1. tidak memiliki/mengidap penyakit; jantung, paru, liver, ginjal , usus, THT, 2. Kadar gula & kolesterol normal, tidak hipertensi/ hipotensi Agar sang Dirut tidak berpihak ke salah satu kubu pemakai alat. Salam hormat dari Lombok

 

Aku dan kita Official

Sy baru Nemu cara login bila eror (pake chrome) Tapi butuh beberapa akun google. 1. Ketika bisa login jgn logout 2. Buka tab baru utk buka chd 3. Jika di tab baru eror gk bs login, buka chd pertama. 4. Pindah akun google. 5. Selesai, anda bisa ikutan coment tapi akun google nya beda. Mgkin ada yg lebih simpel tapi sy bisa ikutan komen dgn cara di atas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Komentar: 191

  • reskon indo
    reskon indo
  • reskon indo
    reskon indo
  • bitrik sulaiman
    bitrik sulaiman
  • Johannes Kitono
    Johannes Kitono
    • mz arifinuz
      mz arifinuz
  • EVMF
    EVMF
  • Leong putu
    Leong putu
    • Leong putu
      Leong putu
    • ALI FAUZI
      ALI FAUZI
    • Leong putu
      Leong putu
  • Denny Herbert
    Denny Herbert
  • Leong putu
    Leong putu
  • Legeg Sunda
    Legeg Sunda
  • Mahmud Al Mustasyar
    Mahmud Al Mustasyar
  • Ahmad Zuhri
    Ahmad Zuhri
  • Leong putu
    Leong putu
  • Pryadi Satriana
    Pryadi Satriana
  • Jimmy Marta
    Jimmy Marta
  • Pryadi Satriana
    Pryadi Satriana
  • Pryadi Satriana
    Pryadi Satriana
  • Udin Salemo
    Udin Salemo
    • Amat Kasela
      Amat Kasela
  • Leong putu
    Leong putu
    • Otong Sutisna
      Otong Sutisna
    • Leong putu
      Leong putu
  • Leong putu
    Leong putu
  • Jimmy Marta
    Jimmy Marta
    • Leong putu
      Leong putu
    • Amat Kasela
      Amat Kasela
    • Jimmy Marta
      Jimmy Marta
  • Pryadi Satriana
    Pryadi Satriana
    • Jokosp Sp
      Jokosp Sp
    • Amat Kasela
      Amat Kasela
    • Nimas
      Nimas
    • Legeg Sunda
      Legeg Sunda
  • Muhammad Abdul Malik
    Muhammad Abdul Malik
  • agus rudi Purnomo
    agus rudi Purnomo
  • Leong putu
    Leong putu
    • Jimmy Marta
      Jimmy Marta
    • Otong Sutisna
      Otong Sutisna
    • Amat Kasela
      Amat Kasela
    • Jokosp Sp
      Jokosp Sp
    • Amat Kasela
      Amat Kasela
    • Leong putu
      Leong putu
  • Er Gham
    Er Gham
  • Kliwon
    Kliwon
    • Jimmy Marta
      Jimmy Marta
    • Leong putu
      Leong putu
    • Leong putu
      Leong putu
    • Kliwon
      Kliwon
    • Jimmy Marta
      Jimmy Marta
  • Jimmy Marta
    Jimmy Marta
  • AnalisAsalAsalan
    AnalisAsalAsalan
  • EVMF
    EVMF
  • Helix Dct
    Helix Dct
  • AnalisAsalAsalan
    AnalisAsalAsalan
    • Liam Then
      Liam Then
  • Theodorus Trianto
    Theodorus Trianto
  • Munif Arifin
    Munif Arifin
  • Juve Zhang
    Juve Zhang
    • Jimmy Marta
      Jimmy Marta
  • Jimmy Marta
    Jimmy Marta
  • Lagarenze 1301
    Lagarenze 1301
    • ra tepak pol
      ra tepak pol
    • Jimmy Marta
      Jimmy Marta
  • Pryadi Satriana
    Pryadi Satriana
    • Otong Sutisna
      Otong Sutisna
    • AnalisAsalAsalan
      AnalisAsalAsalan
    • Er Gham
      Er Gham
    • Kartosuwiryo
      Kartosuwiryo
    • Pryadi Satriana
      Pryadi Satriana
    • Jokosp Sp
      Jokosp Sp
    • Cah Kene ae
      Cah Kene ae
    • Legeg Sunda
      Legeg Sunda
  • ALI FAUZI
    ALI FAUZI
    • Jimmy Marta
      Jimmy Marta
  • Rachmad Saleh
    Rachmad Saleh
    • bagus aryo sutikno
      bagus aryo sutikno
    • bagus aryo sutikno
      bagus aryo sutikno
    • Jimmy Marta
      Jimmy Marta
    • Otong Sutisna
      Otong Sutisna
    • AnalisAsalAsalan
      AnalisAsalAsalan
    • Jimmy Marta
      Jimmy Marta
  • Wahyudi Kando
    Wahyudi Kando
  • bagus aryo sutikno
    bagus aryo sutikno
    • bagus aryo sutikno
      bagus aryo sutikno
    • bagus aryo sutikno
      bagus aryo sutikno
  • bagus aryo sutikno
    bagus aryo sutikno
    • AnalisAsalAsalan
      AnalisAsalAsalan
    • Kliwon
      Kliwon
  • Pryadi Satriana
    Pryadi Satriana
    • bagus aryo sutikno
      bagus aryo sutikno
    • Leong putu
      Leong putu
    • Pryadi Satriana
      Pryadi Satriana
    • bagus aryo sutikno
      bagus aryo sutikno
    • Leong putu
      Leong putu
    • Atho'illah
      Atho'illah
  • yoming AFuadi
    yoming AFuadi
    • bagus aryo sutikno
      bagus aryo sutikno
  • Giyanto Cecep
    Giyanto Cecep
  • Jo Neka
    Jo Neka
    • Leong putu
      Leong putu
    • Jo Neka
      Jo Neka
    • Otong Sutisna
      Otong Sutisna
    • Leong putu
      Leong putu
    • AnalisAsalAsalan
      AnalisAsalAsalan
    • Leong putu
      Leong putu
    • Amat Kasela
      Amat Kasela
    • Leong putu
      Leong putu
  • La Fazza Artha
    La Fazza Artha
  • Azza Lutfi
    Azza Lutfi
    • AnalisAsalAsalan
      AnalisAsalAsalan
  • Zakaria Chen fu
    Zakaria Chen fu
    • Leong putu
      Leong putu
    • Jo Neka
      Jo Neka
  • Leong putu
    Leong putu
  • R KUSWANDI
    R KUSWANDI
  • Otong Sutisna
    Otong Sutisna
    • Leong putu
      Leong putu
  • Kalender Indonesia Lengkap
    Kalender Indonesia Lengkap
  • Mirza Mirwan
    Mirza Mirwan
    • Jimmy Marta
      Jimmy Marta
  • r4ud0h 1978
    r4ud0h 1978
    • AnalisAsalAsalan
      AnalisAsalAsalan
  • Mbah Mars
    Mbah Mars
    • Jo Neka
      Jo Neka
  • Hamba Allah
    Hamba Allah
  • Amat Kasela
    Amat Kasela
    • Otong Sutisna
      Otong Sutisna
    • Leong putu
      Leong putu
    • Amat Kasela
      Amat Kasela
    • Amat Kasela
      Amat Kasela
    • AnalisAsalAsalan
      AnalisAsalAsalan
  • rid kc
    rid kc
  • alasroban
    alasroban
  • Aku dan kita Official
    Aku dan kita Official
    • alasroban
      alasroban
    • Amat Kasela
      Amat Kasela
  • Leong putu
    Leong putu
    • Leong putu
      Leong putu
    • Amat Kasela
      Amat Kasela
    • Otong Sutisna
      Otong Sutisna
    • Leong putu
      Leong putu
    • Jimmy Marta
      Jimmy Marta
  • Leong putu
    Leong putu
    • Leong putu
      Leong putu
  • Leong putu
    Leong putu
    • Leong putu
      Leong putu
  • Leong putu
    Leong putu
    • Leong putu
      Leong putu
  • Leong putu
    Leong putu
    • Leong putu
      Leong putu
    • Aku dan kita Official
      Aku dan kita Official
  • Leong putu
    Leong putu
    • Leong putu
      Leong putu
  • Leong putu
    Leong putu
    • Leong putu
      Leong putu
  • Leong putu
    Leong putu
    • Leong putu
      Leong putu
    • Aku dan kita Official
      Aku dan kita Official
    • Leong putu
      Leong putu
  • Aku dan kita Official
    Aku dan kita Official
  • thamrindahlan
    thamrindahlan
  • Amat Kasela
    Amat Kasela
    • Aku dan kita Official
      Aku dan kita Official
    • Mbah Mars
      Mbah Mars
  • MZ.ARIFIN UMAR ZAIN.
    MZ.ARIFIN UMAR ZAIN.
    • MZ.ARIFIN UMAR ZAIN.
      MZ.ARIFIN UMAR ZAIN.
    • MZ.ARIFIN UMAR ZAIN.
      MZ.ARIFIN UMAR ZAIN.
  • ra tepak pol
    ra tepak pol
    • Aku dan kita Official
      Aku dan kita Official
    • ra tepak pol
      ra tepak pol
  • Aku dan kita Official
    Aku dan kita Official
  • Aku dan kita Official
    Aku dan kita Official
  • Aku dan kita Official
    Aku dan kita Official
  • Guslurah
    Guslurah
    • Aku dan kita Official
      Aku dan kita Official
  • bitrik sulaiman
    bitrik sulaiman
    • Aku dan kita Official
      Aku dan kita Official
  • ra tepak pol
    ra tepak pol
    • Azza Lutfi
      Azza Lutfi
    • ra tepak pol
      ra tepak pol
  • ra tepak pol
    ra tepak pol
    • MZ.ARIFIN UMAR ZAIN.
      MZ.ARIFIN UMAR ZAIN.