Memahami Makna Politik Identitas, Meluruskan Gus Yaqut
KH Imam Jazuli Lc--
Misalnya, setelah menang dalam Pemilu 2019, Jokowi ingin mengakhiri perpecahan di tengah masyarakat. Karena itulah, jalan yang ditempuh dengan menggandeng Prabowo dan Sandiaga dalam pemerintahan. Ini sudut pandang presiden.
Jika sudut pandang presiden seperti itu tidak dipahami, maka hanya akan ada satu sudut pandang, yang mungkin mengatakan bahwa Jokowi menerima para aktor politik identitas di dalam tubuh kabinetnya. Tentu saja, sudut pandang tunggal ini tidak bisa diterima siapapun.
Tidak soal perspektif interseksional, tetapi syarat lain bisa disebut praktek politik identitas adalah adanya tekanan (oppression) yang membahayakan hidup orang lain (person's life), yang bersumber dari keragaman identitas.
Syarat kedua ini terpenuhi dalam ucapan Gus Yaqut sebagai Menteri Agama ketika mengatakan bahwa Kemenag adalah jatah bagi ormas NU. Pernyataan semacam ini mengancam perasaan kelompok lain di luar NU, merusak citra Kemenag sebagai institusi publik, dan menciderai nama baik orang Nahdliyyin yang terkenal moderat, toleran.
Bisa dikatakan bahwa Menag Gus Yaqut adalah pelaku politik identitas itu sendiri, tepatnya politik identitas yang sempit. Sebab, tidak semua politik identitas itu salah. Selagi mengandung nilai-nilai universal dan nilai-nilai universal tersebut adalah identitas bersama maka politik identitas adalah kewajiban.
Seluruh partai politik yang hidup di Indonesia harus mempromosikan politik identitas yang universal, misalnya: demokrasi, pluralitas, gotong-royong, keadilan dan lainnya. Sebab, demokrasi adalah pilihan identitas terbaik bagi bangsa dan negara kita, pada saat negara-negara lain memilih untuk komunis, seperti China, Korea Utara dan lainnya.
Pluralitas juga identitas yang melekat pada bangsa-bangsa yang majemuk, seperti Indonesia, pada saat negara-negara lain yang mengaku demokratis tetapi terjebak dalam politik rasial. Jadi, mempromosikan identitas yang plural melalui praktik politik adalah kewajiban.
Hemat penulis, Gus Yaqut tidak memiliki kapasitas yang cukup sebagai pejabat publik, dan intelektualitas yang mumpuni untuk memimpin bangsa yang plural. Tindakannya menentang praktek politik identitas menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam jurang politik identitas itu sendiri. Semoga ini segera berakhir. (*)
*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: