Pajak e-Commerce Timbulkan Pro Kontra, Ekonom Minta Pemerintah Berkaca dari Kanada
Ilustrasi e-Commerce-Istimewa-
JAKARTA, DISWAY.ID -- Rencana pemberlakuan pajak PPh Pasal 22 kepada para pedagang E-Commerce kini masih terus mendapat sorotan masyarakat.
Tidak hanya itu, sebagian Pengamat juga mempertanyakan keputusan Pemerintah untuk memilih menargetkan pedagang di marketplace lokal dibandingkan perusahaan teknologi global.
Di sisi lain, Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat juga turut menyoroti revenue digital Indonesia, yang sebagian besar dinikmati oleh raksasa global seperti Google, Meta, Apple, Amazon, dan Netflix.
BACA JUGA:Tips Klaim Saldo DANA Gratis Rp295.000 Anti Gagal, Dijamin Bakal Cepat Cair ke E-Wallet!
BACA JUGA:Nomor HP Kamu Dikirim Saldo DANA Kaget Gratis Tanpa Undang Teman, Modal Selonjoran Dapat 1,4 Juta!
“Pertanyaannya, mengapa hanya marketplace lokal yang disasar? Marketplace lokal dipajaki, UMKM digital diatur kepatuhannya, sementara perusahaan global hanya dikenakan PPN PMSE tanpa DST atas keuntungan mereka,” pungkas Achmad ketika dihubungi oleh Disway, pada Senin 30 Juni 2025.
Dalam hal ini, Achmad juga menyoroti skema Digital Services Tax (DST) yang diterapkan oleh negara Kanada, pada Juni 2024 lalu.
Diketahui, DST Kanada mengenakan pajak 3 persen atas pendapatan digital perusahaan teknologi global dengan omzet di atas 750 juta euro dan revenue di Kanada di atas USD 20 juta.
Pajak ini sendiri juga bersifat retroaktif sejak Januari 2022, menargetkan pendapatan iklan, data pengguna, dan online marketplace yang selama ini tak tersentuh pajak korporasi Kanada.
"Dengan DST, mereka mengukuhkan kedaulatan fiskal atas revenue digital di wilayah yurisdiksi mereka,” jelas Achmad.
BACA JUGA:Viral! Saldo DANA Kaget Rp888.000, Klaim Gratis Tanpa Ribet Klik Disini
BACA JUGA:Link dan Tutorial Klaim Saldo DANA Gratis yang Aman untuk Pemula
Namun, Achmad juga menambahkan bahwa langkah ini juga memiliki risiko yang tinggi.
Salah satunya adalah ancaman retaliasi tarif impor AS dan terganggunya perundingan dagang.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
