Zionisme Nahdliyyah dan Urgensi Rais Aam Mundur
Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, Imam Jazuli memberi usulan terkait islah Yahya Cholil Staquf atau yang kerap disapa Gus Yahya dengan Rais 'Aam.-ist-
Semua berakar dari satu penyakit yang sama, yaitu oportunisme politik, pragmatis, transaksional. Nilai-nilai ideal menjadi barang langka yang sulit ditemukan lagi di lingkungan NU. Mungkin itu biasa-biasa saja bagi pengurus yang dekat dengan kekuasaan, tetapi menjadi problem fatal bagi warga NU yang masih ideal dengan nilai-nilai tradisional NU, Khitthah Jam’iyah, dan jejak perjuangan muassis.
Rais Aam terkesan membiarkan terhadap polarisasi yang tercipta di akar rumput. Tidak ada contoh kepemimpinan yang berhasil menyatukan warga Nahdliyyin yang semakin terbelah. Juga tidak ada langkah konkrit untuk menjaga apa yang disebut Ukhuwah Nahdliyyih yang semakin keropos dari waktu ke waktu.
BACA JUGA:Prabowo Sang Hero
BACA JUGA:Menebak di Tengah Ketidakpastian: Pertumbuhan Ekonomi 5,12 Persen Hendak ke Mana?
Singkat kata Rais Aam, KH. Miftachul Akhyar, belum memiliki kapasitas leadership yang ideal. Padahal, jamaah NU semakin besar dari waktu ke waktu, tentu dengan segala macam aspirasi dan golongan. Tidak semua warga cocok dengan pilihan politik transaksional, pragmatis, dan politis. Juga tidak semua warga suka dengan kondisi perpecahan di akar rumput yang menajam.
Tentu warga tidak bisa menerima pembiaran semacam ini berlanjut hingga datang masa Muktamar berikutnya. Bukan mustahil juga KH. Yahya Cholil Staquf dan KH. Miftachul Akhyar akan kembali berkuasa di Muktamar selanjutnya. Mengingat betapa intimnya mereka dengan kekuasaan, termasuk zionisme.
Mengundurkan diri bagi Rais Aam memang pilihan paling ideal. Tentu ada harga yang harus dibayar, yaitu: tidak ada sejarah NU dimana Rais Aam mengundurkan diri. Tetapi, jika tidak mengundurkan diri, korban juga lebih besar. Tidak ada sejarah NU dimana pemimpin-pemimpinya menjadi corong kepentingan zionisme.
Dalam situasi ini, kita perlu kembali ke kaidah fikih “idza ijtama’a mafsadatani fa ‘alaikum bi akhaffihima.” Jika ada dua pilihan buruk, maka pilihkan yang paling ringan mudharatnya. Oleh karenanya, dari pada memiliki pemimpin yang menjadi kaki tangan zionis, lebih baik memiliki pemimpin yang mengundurkan diri. Wallahu a’lam bis shawab. (*)
*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
