bannerdiswayaward

NU, Organisasi dan Arogansi

NU, Organisasi dan Arogansi

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam sebuah kegiatan ulama belum lama ini.-ist-

Kuasa di PBNU, di tangan siapa pun ia berada, mestinya dijalankan dengan penuh kearifan, bukan sebagai alat pukul. Sebab, pada akhirnya, yang membuat NU besar bukanlah struktur dan SK, melainkan hati dan kesetiaan jutaan Nahdliyin yang merasa memiliki rumah teduh dan kearifan bersama.

Ketika rumah itu terasa tidak nyaman karena keputusan dari "atas", maka kegelisahan akan terus ada. Sejarah akan mencatat, apakah ini sekadar riak kecil, atau awal dari perubahan yang lebih besar.

Ketika PBNU terlanjur memilih jalan pintas birokrasi—mengirim karteker, membatalkan hasil Konfercab dan Konferwil, menolak rencana permusyawaratan di daerah—mereka seakan menegasikan denyut nadi keberagaman itu. Sebuah ironi, sebab NU tumbuh dari rahim pesantren yang paling cair dan luwes, bukan dari barak tentara yang kaku.

"Arif" adalah kata kunci yang mungkin mulai hilang dalam kamus tindakan pusat. Kearifan, adalah kemampuan untuk mendengar yang tak terkatakan, melihat yang tersamar; sebuah seni mengelola perbedaan tanpa harus memaksakan keseragaman.

BACA JUGA:Saatnya yang Muda Kembali Memimpin PBNU

Pendekatan sentralistik, sebaliknya, adalah palu godam yang memukul rata, membunuh tunas-tunas inisiatif di akar rumput. Ia menciptakan keteraturan semu, namun melukai jiwa organisasi yang seharusnya bernafaskan khidmah—pelayanan tulus, bukan kekuasaan yang mengontrol.

Kita rindu pada "jalan tengah" yang otentik. Bukan kompromi yang dipaksakan dari atas, melainkan musyawarah mufakat yang tumbuh dari bumi pesantren itu sendiri. Ketika keputusan pusat mematikan hasil konsensus di daerah, yang terjadi bukanlah penegakan aturan, melainkan pengebirian demokrasi internal. Aspirasi jemaah di pelosok seolah hanya riak kecil yang tak berarti di hadapan gelombang besar kekuasaan Jakarta.

Seperti yang sudah-sudaah sering terjadi bagaimana "kuasa" seringkali membungkam "suara" dan lentera kecil di desa, kecamatan dan kabupaten, hingga wilayah cahayanya kini banyak redup ditiup angin kencang dari kota metropolitan.

Cahaya itu adalah kearifan lokal, tradisi musyawarah, dan kemandirian berpikir para kiai di daerah. Ketika angin sentralisme bertiup, lentera itu terancam padam.

BACA JUGA:Prestasi Kampus, Harapan Bangsa

NU, dengan sejarah panjangnya, seharusnya menjadi teladan dalam mengelola keragaman. Pendekatan yang lebih arif, yang mengedepankan dialog ketimbang diktat, adalah sebuah keniscayaan.

Menghentikan fenomena kartekerisasi yang massif dan menghargai proses demokrasi di tingkat cabang dan wilayah bukanlah bentuk kelemahan, melainkan manifestasi nyata dari kearifan sejati. Sebab, pada akhirnya, organisasi khidmah akan dinilai bukan dari seberapa kuat cengkeraman pusatnya, melainkan seberapa tulus ia melayani umatnya di setiap penjuru negeri. Wallahu'alam bishawab. (*)

Aguk Irawan MN, Pengasuh Ponpes Baitul Kilmah Yogyakarta 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Close Ads