'Menghidupkan' Warisan Gus Dur, Bolehkah dengan Melupakan Jejaknya?
Ilustrasi Gus Dur dan Gus Staquf.-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BARANGKALI, ada semacam ironi dalam usaha "menghidupkan" pemikiran dan warisan Gus Dur. Ironi yang bukan lahir dari ketidakmampuan, melainkan dari pilihan sadar untuk memisahkan raga dari ruh. Ketika sebuah buku, "Menghidupkan Gus Dur", karya Gus Yahya Cholil Staquf dipublish menjelang Muktamar 34 di Lampung dan hadir di ruang publik.
Buku ini dengan sangat meyakinkan telah menjanjikan kesinambungan narasi, sebuah jembatan yang menghubungkan kearifan masa lalu dengan tantangan kekinian.
Namun, janji itu, dalam perjalanannya, terasa hambar, bahkan mungkin berbalik arah dengan substansi perlawanan yang pernah ditanamkan oleh almarhum K.H. Abdurrahman Wahid.
BACA JUGA:Elegi Lumpur di Hulu Bencana
Gus Dur, dalam ingatan kolektif kita, adalah anomali yang indah: seorang ulama yang tak lelah membela minoritas, seorang presiden yang memilih dipecat ketimbang berkompromi dengan pelaku politik kotor, dan seorang pemikir yang meletakkan kemanusiaan di atas segala dogma.
Salah satu jejaknya yang mungkin tersembunyi dari sorot kamera, namun nyata dalam sikap politiknya, adalah kepekaannya terhadap isu lingkungan.
Gus Dur, dengan segala keluwesan pemikirannya, cenderung menempatkan hak asasi manusia dan keberlanjutan hidup di pusat kebijakan. Referensi tentang sikapnya yang tidak pro-tambang mungkin tidak termaktub dalam satu dekrit presiden, melainkan tertebar dalam sikapnya yang menolak pembangunan yang merugikan rakyat kecil dan lingkungan. Ia menolak pendekatan pembangunan yang eksploitatif, yang sering kali menjadi watak industri pertambangan.
Gus Dur, dalam rekam jejaknya sebagai presiden, dikenal konsisten menolak industri ekstraktif yang merusak lingkungan. Ia adalah satu-satunya Presiden Indonesia yang tidak pernah memberikan konsesi tambang. Sikap ini bukan tanpa alasan, melainkan berakar dari kesadaran mendalam akan keadilan ekologis dan keberlanjutan hidup masyarakat adat dan lokal.
BACA JUGA:Polemik PBNU: Pelanggaran Berat, Bukan Perselisihan
"Rekam jejak Gus Dur menunjukkan konsistensinya menolak industri ekstraktif yang merusak sumber daya alam," ungkap jaringan Gusdurian, menegaskan warisan sikap sang tokoh. Inayah Wahid, putri Gus Dur, bahkan menggugat Peraturan Pemerintah (PP) yang memberikan izin tambang kepada ormas keagamaan, menunjukkan betapa sikap ini dipegang teguh oleh keluarga dan pengikut setianya.
Di sinilah letak perbedaan mencolok dengan penerusnya, Gus Yahya Cholil Staquf. Di bawah kepemimpinan Gus Yahya di PBNU, organisasi tersebut kini secara eksplisit terlibat dalam pengelolaan konsesi tambang, sebuah langkah yang memicu konflik internal dan kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk Mahfud MD dan elite PBNU lainnya. PBNU di bawah Gus Yahya menerima tawaran pemerintah untuk mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Perbedaan ini bukan sekadar soal teknis kebijakan, melainkan soal etos. Gus Dur mengajarkan politik etis, di mana kekuasaan dan sumber daya alam adalah amanah yang harus digunakan untuk kesejahteraan umat, bukan untuk memperkaya segelintir elite atau organisasi.
BACA JUGA:World Indonesianist Congress: Belajar dari Kawan
Sikap Gus Yahya yang pro-tambang, meskipun diklaim demi kemaslahatan umat, secara diametral bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi dan keadilan ekologis yang secara implisit diyakini oleh Gus Dur.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
