Teka-Teki UMP 2026, Pekerja Berharap Naik: Kebutuhan Makin Mahal!
Kenaikan UMP 2026 sangat dinanti para pekerja utamanya di sektor riil atau swasta seiring kebutuhan hidup yang makin mahal-istockphoto-
Senada dengan hal itu, Wahyu Fitriani, seorang karyawan kantoran berusia 28 tahun yang bekerja di kawasan Pulogadung, Jakarta Timur pengumuman kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta selalu disambut dengan rasa campur aduk.
Bukan euforia, melainkan kalkulasi yang getir. Meskipun nominal UMP terus naik, jurang disparitas upah dengan daerah penyangga dan kenaikan biaya hidup di Ibu Kota membuat hidupnya terasa berjalan di tempat.
"Setiap tahun gaji UMP memang naik. Tapi apa dampaknya paling signifikan? Justru potongan pajak saya makin besar, sementara biaya hidup di Jakarta ini naiknya gila-gilaan," ujar Wahyu Fitriani saat dihubungi jurnalis Disway, Jumat 12 Agustus 2025.
Wahyu menyoroti dampak dari disparitas upah antara Jakarta dan kota-kota penyangga seperti Bekasi atau Tangerang. Meskipun UMP Jakarta lebih tinggi, biaya akomodasi dan transportasi justru menyerap kenaikan gaji tersebut.
BACA JUGA:Pramono Minta Dewan Pengupahan Pertimbangkan Kebutuhan Hidup Layak dalam Merumuskan UMP 2026
Wahyu, yang tinggal di perbatasan Jakarta Timur, merasakan betul bagaimana kenaikan upah tidak sebanding dengan peningkatan beban finansial:
1. Biaya Transportasi: Kenaikan BBM dan tarif transportasi umum, meskipun subsidi, tetap membebani. Jika Wahyu memilih tinggal di daerah penyangga dengan UMP yang lebih rendah, biaya sewa mungkin murah, tetapi biaya transportasinya membengkak karena jarak tempuh yang jauh.
2. Kenaikan Harga Properti: Kenaikan UMP Jakarta turut memicu naiknya harga sewa hunian dan properti di kawasan-kawasan strategis.
"Saya pindah kost tiga kali dalam lima tahun karena harga sewanya naik terus," kata Wahyu.
Kenaikan Gaji Ditelan Pajak
Poin paling krusial bagi Wahyu adalah potongan pajak. Ketika gajinya naik, ia merasa kenaikan itu sebagian besar langsung "disedot" oleh potongan PPh Pasal 21.
"Gaji naik Rp150 ribu, tapi potongan PPh 21 saya bertambah Rp70 ribu. Belum lagi iuran BPJS yang juga ikut naik. Jadi, uang bersih yang saya terima di tangan itu, kenaikannya terasa tidak signifikan sama sekali. Seolah-olah saya bekerja keras, hanya untuk membayar pajak yang lebih besar," ujar Wahyu.
Disparitas upah ini, menurut Wahyu, menciptakan ilusi kesejahteraan. Secara nominal, penerima UMP Jakarta terlihat sejahtera. Namun, secara riil, daya beli mereka seringkali kalah dibandingkan pekerja di kota kecil yang biaya hidupnya jauh lebih rendah, meski UMP-nya lebih kecil.
Wahyu berharap pemerintah dapat meninjau ulang kebijakan perpajakan bagi pekerja dengan pendapatan di kisaran UMP. Selain itu, diperlukan kebijakan yang lebih terpadu untuk mengendalikan harga kebutuhan pokok dan biaya properti di kota besar, agar kenaikan upah benar-benar berdampak positif pada peningkatan kualitas hidup pekerja.
"Intinya, kami ingin uang yang kami terima dari kenaikan UMP ini bisa benar-benar kami rasakan, bukan hanya numpang lewat untuk membayar tagihan yang makin mahal," tutup Wahyu Fitriani.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: