BACA JUGA:Akhiri Sengketa Merek Dagang dengan MS Glow, Putra Siregar Pilih Tutup PS Glow
Egi menilai kasus ini menunjukkan kekeliruan dalam penegakan hukum.
“Merek ‘KASO’ adalah nama umum untuk jenis barang dalam industri konstruksi, khususnya baja ringan. Menurut Undang-Undang Merek, penggunaan nama umum untuk pendaftaran merek seharusnya tidak diperbolehkan,” jelasnya.
Teddy Anggoro menambahkan pentingnya daya pembeda dalam pendaftaran merek.
“Merek adalah identitas yang harus memiliki daya pembeda pada produk atau jasa tertentu. Proses pendaftaran seharusnya melalui pemeriksaan substantif untuk mencegah terdaftarnya merek deskriptif atau umum,” tegasnya.
Keduanya sepakat bahwa Kemenkumham, terutama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, harus lebih aktif menyelesaikan sengketa ini.
Jika kedua belah pihak memiliki hak merek yang sah, penyelesaian damai seharusnya diutamakan daripada tindakan pidana.
Kasus ini kemudian menarik perhatian pakar hukum dari berbagai universitas untuk melakukan penelitian.
Salah satu hasilnya diterbitkan oleh Profesor Dr. OK Saidin SH., M. Hum, Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara.
Dalam tulisannya, ia menyoroti kesalahan yang mungkin terjadi di Kementerian Hukum dan HAM, khususnya DJKI, yang menerima pendaftaran merek KASO 14 tahun lalu dan KasoMAX 3 tahun lalu.
Ia mencatat bahwa sebelumnya, pemeriksa merek DJKI menolak permohonan pendaftaran KasoMAX, namun Komisi Banding Merek, yang saat itu dipimpin Teddy Anggoro, justru mengabulkannya.
OK Saidin menekankan bahwa pendaftaran merek harus berdasarkan daya pembeda yang tidak menyesatkan konsumen.
“Daya pembeda harus berdasarkan itikad baik (Pasal 21 ayat 3 UU Merek dan Indikasi Geografis),” ujarnya.
Ia juga menjelaskan bahwa merek yang tidak memiliki daya pembeda seharusnya tidak bisa didaftar, karena fungsi merek adalah untuk membedakan produk dalam perdagangan.
Misalnya, merek ‘Kopi’ tidak dapat didaftarkan, tetapi ‘Kopi Kapal Api’ diperbolehkan.