Ia menegaskan selama kajian dilakukan menggunakan metode ilmiah tetap disebut sebagai sains.
"Misalnya kemarin ada yang melakukan penelitian di dalam Islam tentang kandungan najis (pada kotoran) bayi perempuan yang masih ASI dengan bayi laki-laki yang masih ASI, Itu kan tingkat najisnya berbeda," cetusnya.
Penelitian pun dilakukan untuk melihat perbedaan tingkat bakteri dari kotoran bayi-bayi tersebut.
"Lalu mereka mencoba untuk melihat, apa sih yang membedakan? Apakah secara saintifik ini memang betul berbeda? Dan ternyata memang mereka menemukan dari kandungan bakteri dan kotorannya, yang bayi perempuan itu memang lebih tinggi daripada bayi laki," ungkapnya.
BACA JUGA:Benarkah Sudah Kena DBD Masih Bisa Tertular Lagi? Ayo Cegah dengan Vaksin
Selain dari penelitian ini, masih banyak juga orang yang mulai mencoba untuk melihat ajaran-ajaran agama dari sisi saintifiknya.
"Misalnya banyak penelitian sekarang yang melihat tentang kenapa najis itu ada yang dibersihkan dengan pasir misalnya. Banyak sekali yang mengkaji tentang struktur pasir itu seperti apa sebenarnya, menapa bisa digunakan," jelasnya.
"Jadi kalau dalam teori, sebenarnya agama dan sains itu memang ada sifatnya dialogis, ada sifatnya integrasi, dan satu lagi ada sifatnya debat," imbuhnya.
Sifat debat ini berarti ada perbedaan antara sains dan agama, tapi menurutnya, porsinya tidak banyak.
"Yang banyak sih dialog dan integrasi antara sains dan agama," pungkasnya.