Hasilnya? Ketegangan dagang kembali meledak.
China tak tinggal diam.
Mereka membalas dengan membatasi ekspor unsur tanah jarang (rare earth) — komoditas penting bagi industri senjata dan elektronik AS — serta menaikkan tarif untuk barang-barang asal AS hingga 125%.
Imbasnya sangat terasa. Hampir $600 miliar nilai perdagangan dua arah mandek.
Rantai pasok global terganggu, perusahaan-perusahaan multinasional was-was, bahkan PHK mulai terjadi. Ancaman stagflasi—gabungan inflasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi lemah—menghantui.
Pasar Langsung Merespons Positif
Kabar kesepakatan ini langsung menggairahkan pasar keuangan dunia.
Di Wall Street, indeks saham berjangka melonjak sementara dolar AS menguat terhadap mata uang-mata uang safe haven seperti yen dan franc Swiss.
Investor menyambut positif sinyal perdamaian dagang yang bisa meredam risiko resesi global.
Ekonom menyebut langkah ini sebagai titik balik penting.
“Penurunan tarif hingga 100 poin ke angka 10% adalah sinyal bahwa kedua negara akhirnya bersedia berdamai demi kepentingan global,” ujar analis ekonomi dari Geneva Trade Forum.
Meski kesepakatan ini disambut hangat, banyak pihak tetap waspada.
Masa jeda 90 hari bukan berarti perang dagang telah selesai.
Semua akan tergantung pada bagaimana negosiasi lanjutan berlangsung.
Jika tidak ada hasil konkret setelah jeda ini, tarif bisa kembali dinaikkan dan ketegangan memanas lagi.
Namun untuk saat ini, kabar ini cukup memberi napas lega.