Menurut Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai, Budi Prasetiyo, kasus lonjakan barang impor ini sudah menimpa Indonesia sejak fenomena e-commerce pada tahun 2020-2022, dimana dokumen barang kiriman konsisten mencapai 61 juta-an dokumen di tahun-tahun tersebut.
Tidak hanya itu, fenomena lonjakan barang impor ini pun juga turut membawa permasalahan baru, yakni maraknya praktik under-value (penilaian harga di bawah sebenarnya) pada barang impor.
"Umumnya barang cross-border e-commerce masuk ke Indonesia melalui skema impor barang kiriman. Permasalahan undervaluation di cross-border e-commerce memang menjadi perhatian bagi otoritas kepabeanan di banyak negara, tidak terkecuali untuk DJBC," pungkas Budi ketika dihubungi oleh Disway, pada Jumat 14 November 2025.
Beberapa otoritas kepabeanan di dunia bahkan telah menghapus/mengurangi de minimis threshold (ambang batas pembebasan Bea Masuk) dan mengenakan sanksi atas praktik undervaluation.
BACA JUGA:Rp757,8 Triliun untuk Pendidikan
BACA JUGA:Bebas Tuberkulosis 2030
Strategi Bea Cukai untuk Awasi Laju Impor Ilegal
Dalam merespon fenomena ini sendiri, pihak DJBC sebelumnya sudah melakukan pengetatan impor barang konsumsi dari e-commerce dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 96 Tahun 2023 di akhir 2023.
Peraturan ini mengatur tentang ketentuan umum, penyelenggaraan impor dan ekspor barang kiriman, impor barang kiriman, ekspor barang kiriman.
Penerbitan peraturan ini sendiri bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pelaku bisnis barang kiriman.
Di saat berdekatan, dari sisi Kemendag juga menerbitkan Permendag 31 Tahun 2023 yang mengatur nilai barang yang boleh dijual oleh platform cross-border e-commerce (minimal USD 100 per-unit).
Hasilnya terjadi penurunan dokumen barang kiriman menjadi sekitar 45 juta dokumen di 2023.
Dalam 2 tahun terakhir, di 2024 dan 2025, jumlah barang kiriman terus mengalami penurunan signifikan menjadi 5,8 juta dokumen di 2024 dan 3,5 juta dokumen di 2025 (s.d. Oktober).
BACA JUGA:Indonesia Lumbung Pangan Dunia
BACA JUGA:Sekolah Garuda, Pendidikan Kelas Dunia
"Saat ini DJBC sendiri menerapkan de minimis threshold “hanya” sebesar FOB USD 3 untuk meminimalisasi praktik undervaluation barang kiriman, karena salah satu motif undervaluation adalah agar mendapatkan pembebasan bea masuk," tutur Budi.