JAKARTA, DISWAY.ID - Namanya Sadia.
Ia dulunya adalah pemilik sebuah perusahaan teknologi informasi di Kabul yang memiliki kontrak dengan Pemerintah Afghanistan.
Hidupnya tidak berlebihan, tetapi layak.
BACA JUGA:Antropologi Kebencanaan
BACA JUGA:Konser Kemanusiaan dan Etika Solidaritas Bangsa
Ia bisa bekerja, mandiri secara ekonomi, dan membantu sesama warga Afghanistan.
Semua itu runtuh seketika ketika Taliban kembali berkuasa. Sadia tak lagi diperbolehkan bekerja.
Perusahaan IT yang ia bangun dengan susah payah terpaksa ditutup. Taliban melarang perempuan bekerja, apalagi memimpin sebuah perusahaan.
Kesedihan dan keputusasaan menyelimuti hari-harinya.
Afghanistan tidak lagi memberi ruang bagi perempuan untuk hidup bermartabat.
Dalam kondisi itulah Sadia membaca pengumuman tentang tawaran beasiswa ke Indonesia.
Tanpa banyak ragu, ia mendaftar.
BACA JUGA:Mendorong Area Studies di Indonesia: Jalan Menjadi Bangsa Besar
BACA JUGA:Transportasi Hijau Bukan Sekadar Opsi, Melainkan Keharusan
Ia berharap bisa belajar beberapa tahun di luar negeri, sekadar untuk menghidupkan kembali semangat hidupnya sambil menunggu perubahan politik di tanah airnya.