Sufisme Islam dan Pengaruh Tradisi Yahudi-Nasrani

Sufisme Islam dan Pengaruh Tradisi Yahudi-Nasrani

KH Imam Jazuli Lc--

Sungguh tidak mudah bagi umat muslim yang tidak berperilaku dan berpikiran seperti kaum Sufi, terutama menerima keragaman dan hikmah kebijaksanaan dari luar tradisi Islam. Namun, para Sufi telah menjadi berkah dan anugerah bagi kita semua, terutama yang hidup di tengah masyarakat majemuk, sehingga kita punya pegangan dalam berislam sekaligus berkebudayaan.

Imam Junaid al-Baghdadi tidak segan mencontohkan cara berdzikir menggunakan tasbih, padahal tasbih adalah tradisi para rahib, pendeta, dan brahmin. Para sufi juga tidak malu-malu menerima nasihat dari para rahib Nashrani yang kafir, jika itu bisa mengobati hati dari kotoran dosa dan maksiat. Dalam konteks ini, para Walisongo juga melakukan hal yang serupa.

Sunan Kalijaga tidak segan-segan menciptakan Punokawan (Semar, Petruk, Gareng, Bagong) untuk mendakwahkan Islam melalui kesenian Nusantara. Para Walisongo juga tidak segan-segan menyelenggarakan slametan, tahlilan, tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan haul. Mereka mengambil tradisi lahiriahnya, dan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya.

Islam para Sufi sejatinya adalah gambaran paling umum tentang arti Islam Rahmatan lil Alamin. Mereka tidak gampang menuduh bid’ah, syirik, dan kurafat kepada kelompok lain. Apalagi sesama muslim. Non-Muslim yang kafir saja, bila memang perilaku dan ucapannya mampu mengobati hati dari kotoran dosa, para Sufi akan menerimanya dengan lapang dada dan tulus.

Itulah alasan mengapa para Sufi sangat berperan besar dalam mengislamkan orang-orang kafir di luar tanah Arab. Para sufi berdakwah (Islamisasi) dengan jalan-jalan kebudayaan, kesenian, dan kearifan lokal. Dengan penuh cinta kasih, bukan kebencian dan permusuhan. Mereka bisa menerjemahkan ke bahasa pribumi berbagai istilah Arab dengan diksi-diksi lokal. 

Jabarut, Malakut, Nasut, Lahut, Rahamut, dan lainnya adalah terminologi Aramaik yang diadopsi dalam kitab-kitab berbahasa Arab. Kelak para Walisongo di Nusantara menggunakan kata-kata: Sembah Hyang, Apuwasa, Sekaten, Kaji, Langgar, Kyai dan Santri untuk menerangkan ajaran-ajaran utama Islam serta orang-orang yang belajar Islam. Di tangan para Sufi, Islam berwajah sejuk dan Islamisasi berjalan di atas rel kerukunan, harmoni, dan perdamaian. (*)

Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads