Siti Ramlah, Belasan Tahun Berjuang Demi Dua Anak yang Thalasemia
Siti Ramlah dan putrinya, Nur Azizah. -BPJS Kesehatan-
TARAKAN, DISWAY.DI - Penyakit thalasemia menjadi momok bagi keluarga Siti Ramlah. Perempuan 38 tahun itu kehilangan anak sulungnya karena thalasemia. Belum hilang rasa dukannya, anak keempat Siti juga dinyatakan positif thalasemia.
Thalasemia adalah penyakit kelainan genetik yang memengaruhi produksi sel darah merah. Kelainan genetik ini diturunkan dari orang tua dan membuat penderitanya mengalami anemia atau kurang darah. Efek dari sakit ini adalah cepat lelah, mudah mengantuk, hingga sesak napas. Thalasemia kerap menyebabkan komplikasi berupa gagal jantung, pertumbuhan terhambat, gangguan hati, hingga kematian.
Penyakin ini jangka panjang. Memerlukan perawatan seumur hidup. Seseorang yang didiagnosis thalasemia harus rutin melakukan transfusi darah setiap bulan untuk mencegah terjadinya anemia.
Anak pertama Siti, Muhammad Ramadhan, meninggal dunia 2020 setelah hampir 18 tahun berjuang dengan thalasemia. ”Ramadhan anaknya pendiam dan tidak terlalu memiliki banyak teman. Setelah pulang sekolah biasanya dia jarang main di luar dan langsung pulang ke rumah. Kalau ada tugas sekolah, biasanya teman-temannya yang datang ke sini,” cerita Siti sambil mengenang beberapa sifat almarhum anak sulungnya itu.
Ramadhan pertama kali dinyatakan thalasemia oleh dokter saat berusia 9 bulan. Setelah mengetahui bahwa Ramadhan menderita thalasemia, secara rutin harus melakukan transfusi darah. Mulai dari sekali dalam setahun, dua kali dalam setahun, sampai satu kali dalam sebulan hingga akhirnya mengalami komplikasi yang menyerang jantungnya.
”Tahun 2014 Ramadhan harus di rujuk ke RSAB Harapan Kita di Jakarta untuk melakukan operasi jantung. Alhamdulillah sekali saat itu sudah ada BPJS Kesehatan. Biaya operasi dan rawat inap selama hampir 2 bulan semuanya dijamin penuh oleh BPJS Kesehatan,” ungkap Siti.
Siti bersyukur saat itu kondisi keluarganya juga tertolong dengan hadirnya Program Jaminan Kesehatan Nasional (Program JKN). Ia tidak membayangkan, bagaimana harus mencari biaya operasi yang diketahuinya hampir mencapai Rp 200-jutaan. Belum lagi biaya hidup seperti transportasi dan tempat tinggal yang ia tanggung saat harus mendampingi Ramadhan
Sejak 2014 sampai dengan kepergiannya di tahun 2020, Ramadhan kembali bersekolah layaknya teman-teman sebayanya. Ramadhan diakui oleh keluarganya anak yang pendiam namum memiliki semangat sekolah yang tinggi. Siswa SMK Negeri 2 Kota Tarakan itu mengambil jurusan arsitektur karena memiliki bakat dalam menggambar.
“Ramadhan ini anaknya nggak pernah mau terlambat datang ke sekolah. Pokoknya harus datang pagi-pagi karena kalau telat anaknya bisa nangis,” tuturnya.
Siti menyebut, kala itu Ramadhan sempat mengungkapkan keinginannya untuk melanjutkan studinya kuliah jurusan arsitektur di Bandung setelah lulus.
”Tapi waktu itu hanya saya jawab dengan kekhawatiran siapa yang harus menemani untuk ke rumah sakit buat transfusi darah setiap bulan,” kenang Siti.
Belum sempat melanjutkan cita-citanya ke Perguruan Tinggi, Siti harus ikhlas anak sulungnya itu meninggal dunia. Tepat satu minggu sebelum Ujian Akhir Sekolah dilaksanakan.
Tidak lama berselang setelah kepulangan Ramadhan, anak keempatnya yang baru berusia 1 tahun kala itu mulai menunjukkan gejala serupa dengan kakaknya. Putrinya, Nur Azizah Dawamah, wajahnya pucat dan cepat lelah. ”Jadi kami bawa ke dokter anak. Azizah didiagnosis thalasemia” ungkap Siti.
Saat ini Azizah sudah menjalani proses transfusi darah secara rutin sebulan sekali. Meski sedih, bingung, kecewa, dan takut, Siti pasrah dan berusaha kuat untuk mendampingi anak keempatnya itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: bpjs kesehatan