Menyayangkan Pencabutan Gugatan Ijazah Palsu Jokowi
Yusril Ihza Mahendra-Foto: Dok/Ilustrasi: Syaiful Amri-Disway.id
Kebetulan saya merupakan salah seorang saksi sejarah atas terjadinya peristiwa peralihan kekuasaan tahun 1998 itu. Setelah sidang berlangsung cukup lama, PN Jakarta Pusat akhirnya memutuskan menolak gugatan 100 Pengacara Reformasi.
Dalam pertimbangan hukumnya, PN Jakarta Pusat menyatakan proses berhentinya Suharto tanpa melalui MPR dan pengucapan BJ Habibie sebagai Presiden menggantikannya adalah sah menurut hukum.
Saya bertanya kepada Suhana apakah akan banding. Dia bilang, tidak. Perkara selesai dan inkracht van gewijsde. Akibat putusan itu, saya sempat mengolok-olok Ali Sadikin.
“Sekarang Pak Ali tidak bisa lagi ngomong Suharto berhenti tidak sah. Ini sudah ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Lagipula, omongan seperti itu tidak ada gunanya. Kalau Pak Ali masih tetap ngomong berhentinya Suharto tidak sah, maka itu artinya Pak Harto masih tetap Presiden. Kalau Pak Harto masih tetap Presiden, beliau bisa berbuat apa saja terhadap anggota Petisi 50. Apa begitu maunya Pak Ali?”. Ali Sadikin nampak merenung.
Saya berpendapat, adanya putusan pengadilan terhadap kasus kontroversial itu sangat penting agar ada kepastian hukum. Karena itu, saya menyayangkan mengapa polisi menahan BTM. Walaupun dasar penahanannya, seperti saya katakan tadi, tidak berkaitan dengan gugatan “ijazah palsu Jokowi”.
Tetapi kesan Pemerintah “main kekuasaan” menghadapi BTM sulit dihindari. Lagipula, penahanan bahkan pemenjaraan tidak akan membuat BTM menjadi jera. Kontroversi “ijazah palsu Jokowi” sudah diungkapkan BTM melalui bukunya “Jokowi Under Cover” yang membuatnya masuk penjara. Setelah keluar penjara, BTM mulai lagi dengan serangan yang sama terhadap Jokowi.
Satu-satunya cara “mengalahkan” BTM adalah dengan mengajukan bukti-bukti surat (tertulis, rekaman, foto dan sejenisnya), keterangan saksi dan ahli dibawah sumpah yang memberikan keterangan dalam sidang yang terbuka untuk umum untuk membantah bukti-bukti yang diajukan oleh BTM dan para pengacaranya.
Percayakan kepada majelis untuk menilai semua bukti yang diajukan oleh penggugat maupun tergugat dengan seluas-luasnya, untuk akhirnya memutuskan gugatan dikabulkan atau ditolak.
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis tentu akan mengemukakan dasar-dasar hukum putusan dan menilai alat-alat bukti yang dihadirkan Penggugat dan Tergugat dengan jernih dan mengambil putusan yang paling tepat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kini penahanan BTM justru dimanfaatkan oleh BTM dan pengacaranya, Eggi dan Khozinudin, untuk dijadikan alasan mencabut gugatan. Alasannya, sulit mengumpulkan bukti-bukti untuk dibawa ke persidangan karena BTM sedang dalam tahanan dan sulit ditemui.
Alasan ini pun terkesan aneh juga. Pengacara yang bekerja secara profesional tentu telah mengumpulkan semua bukti yang membuatnya “haqqul yaqien” akan memenangkan gugatan sebelum mendaftarkan gugatan ke pengadilan.
Mereka pasti tahu ketentuan hukum acara perdata: siapa mendalilkan harus membuktikan dalilnya. Bukan Jokowi dan para pengacaranya yang harus membuktikan ijazah Jokowi asli dan tidak palsu. BTM dan para pengacaranyalah yang harus membuktikan bahwa ijazah Jokowi mulai SD sampai UGM adalah palsu.
Kalau bukti-bukti masih sulit dikumpulkan, dengan alasan apapun, termasuk yang punya akses terhadap data dan saksi hanyalah penggugat prinsipal, dalam hal ini adalah BTM, lazimnya seorang pengacara takkan berani mendaftarkan gugatan seperti itu ke pengadilan.
Kalau masalah BTM ditahan dan tidak bisa hadir ke pengadilan, mestinya tidak masalah. Bukankah dia sudah menunjuk Eggi dan Khozinudin untuk mewakili dirinya?
Bahkan, penahanan BTM justru bisa “dimainkan” Eggi dan Khozinudin untuk membangun opini di luar sidang untuk memperoleh dukungan moril, opini dan politik terhadap gugatannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: