Seharusnya Permohonan Pengujian Pasal 169 UU Pemilu Diajukan Partai Gerindra Bukan Oleh Sekber Prabowo

Seharusnya Permohonan Pengujian Pasal 169 UU Pemilu Diajukan Partai Gerindra Bukan Oleh Sekber Prabowo

Yusril Ihza Mahendra Ihza. -Foto: Dok/Ilustras: Syaiful Amri-Disway.id

Sekarang, pasca amandemen, kedaulatan masih berada di tangan rakyat, tetapi tidak dilaksanakan sepenuhnya lagi oleh MPR yang juga tidak lagi berfungsi sebagai "penjelmaan seluruh rakyat Indonesia". UUD 45 pasca amandemen memang masih memberikan kewenangan kepada MPR dalam kaitannya dengan Presiden dan Wakil Presiden, yakni memberhentikannya sebagai bagian akhir dari proses pemakzulan, menetapkan Wakil Presiden menjadi Presiden dalam hal Presiden berhalangan tetap, dan melakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam waktu 30 hari setelah Presiden dan Wakil Presiden berhalangan tetap dalam waktu bersamaan.

Selain apa yang saya kemukakan di atas, tidak ada kewenangan MPR dalam kaitannya dengan pengisian dan pemberhentian jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Jadi, jika ternyata sampai tenggat akhir pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang ditetapkan KPU, ternyata hanya ada satu paslon yang mendaftar dan memenuhi syarat, maka apakah KPU berwenang menetapkan pasangan tersebut otomatis menjadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih? Saya berpendapat tidak.

MPR sebelum amandemen berwenang menetapkan calon Presiden dan Wakil Presiden secara aklamasi menjadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih karena MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat adalah lembaga tertinggi negara yang berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Sementara KPU tidak memiliki kewenangan seperti itu. KPU hanyalah penyelenggara Pemilu, termasuk Pilpres, sedangkan yang menentukan siapa pemenang adalah rakyat secara langsung. KPU hanya menetapkan Capres dan Cawapres terpilih berdasarkan suara terbanyak yang dilakukan oleh rakyat. 

 

Itu artinya, KPU tidak punya pilihan kecuali menyelenggarakan Pilpres pasangan calon tunggal melawan "kotak kosong", setelah misalnya dilakukan perpanjangan waktu pencalonan. Perpanjangan ini pun harus hati-hati jangan sampai mengganggu jadwal pelantikan Presiden dan Wakil Presiden baru hasil Pemilu 2024 pada tangal 20 Oktober 2024. Jadwal ini tidak bisa digeser, sebab akan menyebabkan Presiden Jokowi dan Wapres Kyai Ma'ruf Amin daluarsa masa jabatannya, sementara Presiden dan Wapres baru belum dilantik MPR.

Kalau setelah perpanjangan paslon tetap tunggal, maka Pilpres lawan kotak kosong dilaksanakan. Kalau paslon  tunggal menang lawan kotak kosong --sebagaimana beberapa kali terjadi dalam Pilkada -- maka tidak ada masalah. Paslon tunggal ditetapkan KPU sebagai

pemenang dan MPR melantiknya sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Tapi bagaimana kalau paslon Capres dan Cawapres kalah melawan kotak kosong?Apakah kotak kosong yang akan dilantik MPR menjadi Presidan dan Wakil Presiden? 

Kotak kosong jelas bukan subyek hukum yang berwujud manusia (natuurlijk persoon) yang dapat dilantik untuk mengisi posisi sebagai pemangku jabatan (ambtsdrager) apapun dilihat dari sudut hukum tata negara. Malah untuk "dipilih" dalam Pemilu (MK justru membenarkan pilkada lawan kotak kosong ini), adalah sesuatu yang problematik. Kotak kosong tidak pernah mendaftar, apalagi disahkan KPU menjadi calon dalam pemilu atau pilkada di manapun. Memilih kotak kosong yang bukan subyek hukum, juga bukan calon dan tidak mungkin dapat dilantik mengisi jabatan apapun, dalam pandangan saya adalah tidak sejalan dengan asas-asas hukum manapun.

Kalau paslon Capres dan Cawapres kalah lawan kotak kosong, itu berarti mereka tidak berhak untuk dilantik MPR menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Maka sejak tanggal 20 Oktober 2024 nanti akan terjadi kevakuman jabatan Presiden dan Wakil Presiden. MPR tidak berwenang memperpanjang masa jabatan Jokowi dan Kyai Ma'ruf Amin walau hanya untuk satu hari saja. 

MPR juga tidak berwenang untuk melantik penjabat (sementara) Presiden dan Wakil Presiden sampai terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden hasil Pemilu. Tidak ada pengaturan terhadap hal itu, baik di dalam UUD 45 maupun di dalam undang-undang. MPR juga tidak berwenang untuk membuat Ketetapan MPR untuk mengatasi kevakuman itu.

Negara ini akan menghadapi kebuntuan konstitusional, yang jauh lebih sulit dibandingkan misalnya dengan penunjukkan siapa yang akan menjadi Perdana Menteri di Malaysia, karena Yang di-Pertuan Agong (Raja Federal) Malaysia menghadapi kenyataan saat ini bahwa tidak ada satupun koalisi mayoritas di Parlemen yang dapat mengajukan calon Perdana Menteri, walaupun hanya dengan mayoritas sederhana. Konstitusi Federal Malaysia cukup mampu mengatasi hal ini, dibandingkan dengan UUD 45 pasca amandemen yang menyisakan begitu banyak kevakuman dan kebuntuan konstitusional.

Oleh karena itu, saya berpendapat amandemen UUD 45 untuk mengatasi kevakuman seperti di atas, termasuk antisipasi jika Pemilu gagal dilaksanakan karena sesuatu sebab sebagaimana pernah saya kemukakan dalam berbagai tulisan saya sebelumnya, yang berakibat terjadinya kevakuman kekuasaan, adalah sesuatu yang mendesak untuk dilakukan oleh MPR. 

Jakarta, 24 November 2022

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: