Hardiknas 2024, Ini Sejarah Sekolah Tertua Taman Siswa Milik Ki Hajar Dewantara Sejak 1922

Hardiknas 2024, Ini Sejarah Sekolah Tertua Taman Siswa Milik Ki Hajar Dewantara Sejak 1922

Hari Pendidikan Nasional 2024 dan Ki Hadjar Dewantara-Sejarah serta makna Pendidikan dalam kerangka Tut Wuri Handayaniyani-Kemdikbud/Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY

JAKARTA, DISWAY.ID – Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tidak terlepas dari sosok Ki Hajar Dewantara.

Sosoknya dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia dengan latar belakang sejarah sekolah Taman Siswa yang melekat.

Pemikirannya yang visioner sejak zaman Indonesia belum merdeka, membuatnya mendirikan sebuah sekolah bernama Taman Siswa.

BACA JUGA:Hardiknas 2024, Ini Daftar Kurikulum di Indonesia dari Awal Hingga Kurikulum Merdeka

Dikutip dari laman resmi Direktorat SMP Kemendikbudristek, Ki Hajar Dewantara menilai pendidikan adalah alat mobilisasi politik dan sekaligus sebagai penyejahtera umat.

Dari pendidikan akan dihasilkan kepemimpinan anak bangsa yang akan memimpin rakyat dan mengajaknya memperoleh pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

BACA JUGA:Harapan Tenaga Pendidik di Momen Hardiknas: 'Gaji Minimal UMR'

Sejarah Sekolah Taman Siswa

Gagasan mendirikan sekolah Taman Siswa di Yogyakarta pada 3 Juli 1922 berasal dari sarasehan (diskusi) tiap hari Selasa-Kliwon.

Peserta diskusi sangat prihatin terhadap keadaan pendidikan kolonial.

Sistem pendidikan kolonial yang materialistik, individualistik, dan intelektualistik diperlukan lawan tanding, yaitu pendidikan yang humanis dan populis, yang memayu hayuning bawana (memelihara kedamaian dunia).

Tentu metode pengajaran kolonial yang harus diubah, yaitu dari sistem pendidikan “perintah dan sanksi (hukuman)” ke pendidikan pamong.

Pendidikan kolonial didasarkan pada diskriminasi rasial yang di dalamnya sudah terdapat pemahaman kepada anak-anak bumiputra yang menderita inferioritas.

Kondisi seperti ini harus diubah dari pendidikan model ”perintah dan sanksi”, meski pemerintah kolonial sendiri menggunakan istilah santun “mengadabkan “ bumiputera, tetapi dalam kenyataannya cara kolonial yang tidak manusiawi tetap berjalan.

Maka dibuatlah wadah “Nationaal Onderwijs Taman Siswa”, sebuah pendidikan nasional dengan gagasan yang sudah mencakup seluruh bangsa Indonesia (nation wide).

BACA JUGA:5 Puisi Hari Pendidikan Nasional Hardiknas Inspiratif tentang Guru dan Siswa

Menurutnya, itu adalah pendidikan yang mengena kepada bangsa Timur adalah pendidikan humanis, kerakyatan, dan kebangsaan.

Maka, hal tersebut mengarahkannya kepada politik pembebasan atau kemerdekaan.

Pengalaman yang diperoleh dalam mendalami pendidikan yang humanis ini dengan menggabungkan model sekolah Maria Montessori (Italia) dan Rabindranath Tagore (India).

Menurut KHD dua sistem pendidikan yang dilakukan dua tokoh pendidik ini sangat cocok untuk sistem pendidikan bumiputera.

Lalu dari mengadaptasi dua sistem pendidikan itu KHD menemukan istilah yang harus dipatuhi dan menjadi karakter, yaitu Patrap Guru, atau tingkah laku guru agar menjadi panutan murid dan masyarakat. Hal tersebut berujung menjadi pegangan utama KHD menciptakan istilah yang kemudian sangat terkenal, yaitu:

Ing ngarsa sung tulada (di muka memberi contoh)

Ing madya mangun karsa (di tengah membangun cita-cita),

Tut wuri handayani (mengikuti dan mendukungnya)

BACA JUGA:Sejarah Hardiknas dan Sosok Ki Hajar Dewantara

Perilaku guru Taman Siswa ini diterapkan di semua jenjang Pendidikan TS, antara lain: Taman Indria (Taman Kanak-kanak), Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Madya (SMA), dan Taman Guru (Sarjana Wiyata). Hal tersebut merupakan upaya manifestasi resistensi kultural karena berpusat pada sikap yang berlawanan (antitesis) dengan sikap guru dalam pendidikan kolonial.

“Tut wuri handayani” dijadikan motto Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Perkembangan sekolah TS 1922-1930 cukup menggembirakan dalam merespon represi pemerintah kolonial.

Selama delapan tahun sejak 1922 terjadi perkembangan sekolah TS di nusantara, dari Aceh sampai Indonesia Timur berdiri 30 cabang dan Pusat Persatuan Pengurus TS tetap di Yogyakarta.

Taman Siswa tetap memegang Azas TS (1922) dan Dasar TS (1947) yang sebenarnya saling berhubungan dan keduanya tidak dapat dipisahkan.

Ki Mangun Sarkara meneruskan cita-cita dan mengaplikasikan gagasan pendidikan TS. Hanya saja Pendidikan TS tidak seperti jaman kolonial, sekarang TS harus membiayai dana pendidikan sendiri dan orientasi masyarakat sudah berubah karena dana belajar dari masyarakat yang semakin UU berkurang.

Namun demikian, Taman Siswa masih menjadi penggerak sekolah swasta di Indonesia dengan swadaya, swausaha, dan swakelola.

Semangat kebangsaan, kerakyatan dan keluhuran pekerti menjadi pegangan budaya Timur tetap terpancarkan dari Taman Siswa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: