Ekonom Bilang Pemangkasan Makan Bergizi Gratis Dari Rp 15 ribu Menjadi Rp 7.500 Jadi Solusi Alternatif

Ekonom Bilang Pemangkasan Makan Bergizi Gratis Dari Rp 15 ribu Menjadi Rp 7.500 Jadi Solusi Alternatif

Tim Gugus Tugas Prabowo sebut program makan siang bergizi gratis bergantung dengan stok pangan di daerah-Fajar/Disway.id-

JAKARTA, DISWAY.ID - Setelah mendapat kritik dari berbagai pakar ekonom, kini beredar rumor bahwa Presiden Terpilih Prabowo Subianto memutuskan untuk memangkas anggaran makan siang gratis di bawah Rp 15.000 menjadi Rp 7.500 per-anak.

Menurut pernyataan Ekonom Verdhana Sekuritas Heriyanto Irawan, tim ekonomi Prabowo diketahui sudah menyetujui anggaran program sebedar Rp 71 Triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 tersebut.

BACA JUGA:Gugus Tugas Prabowo Sebut Menu Makan Siang Bergizi Gratis Setiap Daerah Berbeda, Tapi...

BACA JUGA:Menko Luhut Pastikan Anggaran Program Makan Siang Gratis Dibagikan Bertahap

Oleh karena itu, dia berharap pengalokasian dana ini dapat digunakan sebaik-baiknya.

"Angka itu memang dibahas dengan Pak Prabowo. Apakah biaya makan siang per-hari itu bisa diturunkan dari 15 Ribu menjadi 7.500 Ribu per-anak, bukankah itu tugas Presiden terpilih ke tim ekonomi?" kata Heriyanto dalam acara Market Outlook  2024 yang disiarkan melalui Youtube pada Kamis 18 Juli.

Menurut Heriyanto, menurunkan anggaran tersebut bisa menjadi solusi alternatif. Pasalnya, akan menjadi masalah baru apabila anggaran tersebut malah didorong menjadi Rp 300 Triliun.

"Pemikiran Prabowo adalah untuk mendorong programnya ditengah-tengah keterbatasan anggaran Rp 71 Triliun," Ujar Heriyanto.

BACA JUGA:Respon Kritik Publik Terkait Makan Siang Gratis, Sri Mulyani: APBN Akan Tetap Aman

Menanggapi pernyataan Heriyanto tersebut, Anggota Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran Bidang Komunikasi Hasan Nasbi menegaskan bahwa rumor terkait anggaran per orang untuk makan bergizi gratis siswa di sekolah sekolah dipangkas menjadi Rp 7.500 per anak hanyalah isu dan tidak resmi dari tim.

"Itu hanya pernyataan atau mungkin saja ide dari ekonom tersebut, bukan statemen resmi dari tim. Semua sedang dikaji dan diujicoba dengan sangat detil oleh Dewan Pakar. Sampai saat ini belum ada angka tertentu yang menjadi patokan, sebab yang menjadi tolok ukur kita adalah ketercukupan gizi," Kata Hasan kepada wartawan pada Jumat tanggal 19 Juli.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: