Hari Toleransi Dunia, Kerukunan Beragama dan Filosofi Negara Ideal
Miftah Maulana Habiburrahman, Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan dan Pembinaan Sarana Keagamaan.-FB-
MAJELIS Umum PBB pada tahun 1996 mengadopsi Resolusi 51/95 yang menetapkan Hari Toleransi Internasional atau International Day of Tolerance diperingati setiap tahun pada tanggal 16 November.
Tindakan ini menyusul diadopsinya Deklarasi Prinsip-prinsip Toleransi oleh Negara-negara Anggota UNESCO pada tanggal 16 November 1995.
Toleransi adalah rasa hormat dan penghargaan terhadap perbedaan dan keragaman budaya, agama, ras, suku, bahasa, bentuk-bentuk ekspresi, dan cara-cara kita mengakui hak asasi manusia secara universal, serta kebebasan fundamental orang lain.
Sehingga kehidupan yang harmoni, damai dan koeksistensi bisa terlaksana, terutama dalam hal kerukunan beragama. Karena agama pada satu sisi menyimpan kebenaran universal, tapi di saat yang sama juga menyimpan kebenaran partikular.
BACA JUGA:Beasiswa Baznas untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Kerukunan beragama dapat diartikan dengan tiga cara berbeda; ontologis, epistemologis, dan aksionalogis.
Kerukunan beragama seperti makanan pokok yang menentukan hidup dan mati manusia. Tidak rukun dalam beragama hanya membuka konflik, kebencian, dan perseteruan yang sepenuhnya tidakdiridhai dalam ajaran agama manapun.
Kerukunan beragama secara ontologis adalah pilihan sikap dari setiap individu di dalam komunitas keagamaannya. Sikap di sini memiliki orientasi pada penerimaan kehadiran “yang-lain” (the others), dan menganggap “yang-lain” sebagai bagian tak terpisahkan dari dirinya sendiri. Karena secara sosiologis, menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk sosial (zoonpoliticon).
Dalam hubungan sosial, interaksi satu individu dengan individu lain dihadapkan pada dua macam; afirmatif-kolaboratif atau konflik-konfrontatif. Akan selalu ada banyak alasan untuk menerima eksistensi kehadiran “yang-lain”, namun juga ada banyak alasan untuk menolaknya secara konfrontatif.
Dalam analisa ekonomi, misalnya, Karl Marx menyebut ketidakadilan distribusi adalah akar penyebab konflik sosial. Sudut pandang lain menyebut politik dan agama sebagai pemicu konflik.
Kerukunan beragama berarti upaya menjadikan agama sebagai perekat hubungan sosial, sehingga interaksi antara satu individu dengan lainnya lebih harmonis. Karena kerukunan beragama merupakan sebuah upaya, tentu saja ada upaya lain yang menciptakan konflik atas nama agama.
Dengan begitu, kerukunan maupun konflik agama adalah hasil akhir dari tindakan dan sikap mental individu.
BACA JUGA:Pengantar KH Imam Jazuli pada Buku Blue Print Transformasi dan Revolusi Manajemen Haji
Dalam rangka memahami kerukunan beragama dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari, secara epistemologis dibutuhkan kesadaran aktiv dan motivasi kognitif-psikis yang mendukung. Kesadaran dan motivasi ini bisa diupayakan dengan sengaja, dengan cara yang sistematis dan terorganisir.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: