Prediksi Ekonomi Indonesia 2025, Ekonom: Akan Jadi Tahun yang Berat dan Penuh Dinamika
Ekonom prediksi ekonomi Indonesia 2025 akan jadi tahun yang berat dan penuh dinamika.-Bianca Khairunnisa-
JAKARTA, DISWAY.ID - Ekonom prediksi ekonomi Indonesia 2025 akan jadi tahun yang berat dan penuh dinamika.
Pasalnya, sejumlah kebijakan ekonomi yang kontroversial menjadi sorotan masyarakat, pelaku usaha, dan dunia internasional.
Menurut keterangan Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Unversitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta, Achmad Nur Hidayat, berbagai kebijakan yang diterapkan pada tahun ini tidak hanya membawa dampak signifikan pada perekonomian nasional, tetapi juga diprediksi memperburuk daya beli masyarakat kelas menengah pada 2025.
BACA JUGA:Panen Raya Menjadi Februari dan Maret, Menko Pangan Ungkap Harga Beli Gabah
BACA JUGA:Promo Indomaret Spesial Akhir Tahun 29 Desember 2024, Rinso Detergen Liquid Cuma Rp10 Ribu!
"Pada Februari, pemerintah mulai mengusulkan perubahan mekanisme subsidi bahan bakar minyak (BBM), pada bulan Maret pemerintah memutuskan untuk memperpanjang kontrak PT Freeport Indonesia," jelas Achmad saat dihubungi oleh Disway.id pada Sabtu 28 Desember 2024.
"Pada sisi lain, kabar buruk datang dari sektor tekstil, di mana Sritex yang merupakan salah satu perusahaan tekstil terbesar Indonesia, dinyatakan pailit dan berpotensi menyebabkan PHK massal bagi ribuan pekerja," terangnya.
Dengan adanya perubahan serta penerapan kebijakan-kebijakan baru tersebut, Achmad menilai bahwa tahun 2024 ini telah menjadi salah satu tahun yang penuh tantangan dan peluang bagi perekonomian Indonesia.
BACA JUGA:Rolls Royce Hingga Emas Bakal Dilelang Kemensos: Akan Cek Ulang Secara Menyeluruh
BACA JUGA:Benarkah Brigade Pangan Dapat Gaji Rp10 Juta per Bulan, Kementan Angkat Bicara
"Dari kebijakan fiskal, perubahan mekanisme subsidi, hingga implementasi program strategis, semuanya menggambarkan upaya pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi," ucap Achmad.
Sementara itu, Achmad melanjutkan, salah kebijakan yang diprediksi akan memperburuk daya beli masyarakat adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen.
"Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, implementasi skema subsidi berbasis nomor induk kependudukan (NIK), serta beban tambahan dari program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menjadi tekanan baru bagi masyarakat kelas menengah," jelas Achmad.
BACA JUGA:Benarkah Brigade Pangan Dapat Gaji Rp10 Juta per Bulan, Kementan Angkat Bicara
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: