Hari Hemofilia Sedunia 2025, Mayoritas Pasien Terdeteksi saat Perdarahan Berat dan Komplikasi

Hari Hemofilia Sedunia atau World Hemophilia Day (WHD) 2025, masyarakat diajak lebih mengenal tentang penyakit ini. --Istimewa
JAKARTA, DISWAY.ID - Dalam rangka memperingati Hari Hemofilia Sedunia atau World Hemophilia Day (WHD) 2025, masyarakat diajak lebih mengenal tentang penyakit ini.
Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) bersama PT Takeda Indonesia kembali mengangkat pentingnya kesadaran dan akses layanan kesehatan yang setara bagi para penyandang hemofilia dan gangguan perdarahan lainnya.
Tahun ini, tema global WHD adalah “Access for All: Women and Girls Bleed Too” yang menyoroti kebutuhan mendesak akan inklusivitas dalam layanan diagnosis dan pengobatan, terutama bagi perempuan dan anak perempuan yang sering kali terabaikan.
BACA JUGA:Jessica Iskandar Trauma Alami Perdarahan saat Melahirkan: Tapi Jadi Kenangan Indah
Apa Itu Hemofilia?
Hemofilia adalah gangguan pembekuan darah bawaan yang menyebabkan darah sulit membeku secara normal. Hal ini dapat memicu perdarahan spontan atau perdarahan berkepanjangan pasca cedera ringan, operasi, atau prosedur medis sederhana seperti suntikan.
Terdapat dua tipe utama hemofilia: hemofilia A (defisiensi faktor VIII) dan hemofilia B (defisiensi faktor IX). Semakin rendah kadar faktor pembekuan dalam tubuh pasien, semakin besar risiko terjadinya perdarahan serius.
Ketua HMHI, Dr. dr. Novie Amelia Chozie, SpA(K), mengungkapkan bahwa saat ini penanganan hemofilia di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal deteksi dini.
“Banyak kasus hemofilia baru teridentifikasi setelah pasien mengalami perdarahan berat atau komplikasi serius. Hal ini meningkatkan risiko disabilitas, bahkan kematian. Hingga saat ini, baru sekitar 11% dari total estimasi pasien hemofilia di Indonesia yang berhasil terdiagnosis,” jelasnya.
BACA JUGA:Waspada Penyebab Kematian Ibu saat Persalinan, Perdarahan Hingga Eklamsia
Salah satu komplikasi yang mengkhawatirkan adalah terbentuknya inhibitor—antibodi yang menetralisasi efektivitas terapi faktor pembekuan.
Menurut data Unit Kerja Koordinasi Hematologi-Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, prevalensi inhibitor faktor VIII pada anak dengan hemofilia A mencapai 9,6% di 12 kota besar.
Persoalan akses juga menjadi sorotan utama.
Fasilitas diagnostik dan pengobatan masih terpusat di kota-kota besar, sementara pasien di daerah terpencil menghadapi keterbatasan layanan medis, ketersediaan obat, dan minimnya tenaga kesehatan yang memahami gangguan perdarahan.
“Ini menandakan urgensi untuk memperluas pemerataan layanan dan edukasi, baik kepada tenaga medis maupun masyarakat,” tambah dr. Novie.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: