bannerdiswayaward

Pembelian Jam Tangan Mewah Rp80 Miliar Berujung Gugatan, Kok Bisa?

Pembelian Jam Tangan Mewah Rp80 Miliar Berujung Gugatan, Kok Bisa?

Pembelian Jam tangan mewah senilai Rp80 Miliar malah berujung gugatan usai pembeli diharuskan mengambil barang yang dipesan di Singapura-Istimewa-

BACA JUGA:Terbaru! Disurati Richard Mille Asia Hingga 9 Kali, Kuasa Hukum: Tony Tidak Pernah Beli Di Singapura

“Klien kami telah menyelesaikan seluruh kewajibannya secara tertib dan resmi sesuai arahan dari butik di Jakarta. Tapi setelah lunas, ia justru diarahkan ke luar negeri. Ini tidak bisa dianggap wajar,” ujar Heroe.

Ia menambahkan, jika praktik seperti ini dianggap lazim, maka konsumen tidak lagi memiliki perlindungan.

“Hari ini bisa jam tangan, besok bisa barang koleksi lain. Padahal nilainya tidak kecil,” tambahnya.

Mediasi Buntu, Persidangan Berlanjut

Seperti umumnya perkara perdata, pengadilan mencoba membuka jalur mediasi. Namun pada April 2025, proses mediasi itu dinyatakan gagal. Tidak ada kesepakatan yang bisa dicapai antara para pihak. Dengan demikian, sidang berlanjut ke tahap pembuktian.

Kuasa hukum Tony menyatakan tidak keberatan untuk menghadapi seluruh proses pembuktian di pengadilan. Mereka mengaku telah menyiapkan dokumen lengkap: bukti pembayaran, percakapan tertulis, hingga detail administratif yang membuktikan bahwa seluruh transaksi memang dikelola dan dijanjikan melalui Jakarta.

“Ini bukan sengketa antara individu dengan merek global. Ini sengketa antara konsumen dengan praktik distribusi yang kami nilai tidak transparan,” kata Heroe Waskito. 

Ia menegaskan, pihaknya tidak sedang mempermasalahkan kualitas jam atau keaslian barang, tapi soal tata kelola transaksi dan hak konsumen untuk mendapatkan kepastian yang sah.

Apa yang dialami Tony memunculkan pertanyaan lebih luas: bagaimana perlindungan konsumen dalam transaksi barang mewah lintas negara?

Di banyak kasus, pembeli barang bernilai tinggi—mobil sport, karya seni, jam tangan edisi terbatas—sering kali dianggap sebagai pihak yang paham risiko. Tapi seberapa besar risiko yang wajar, jika bahkan proses dasar seperti penyerahan barang pun bisa berubah sepihak?

Dalam konteks itu, perkara ini bukan hanya soal Tony dan dua jam tangan. Ini tentang bagaimana sistem distribusi global beroperasi di negara berkembang, dan sejauh mana mereka patuh pada prinsip keterbukaan dan keadilan konsumen.

BACA JUGA:Kapolri Diminta Usut Kasus Penipuan Arloji Richard Mille dan Dugaan Pemerasan: Orang Gedongan Saja Bisa Terseok-seok

Persidangan masih berlangsung. Belum ada vonis, dan belum tentu perkara ini berakhir di tingkat pertama. Tapi yang sudah pasti: perlawanan Tony membuka ruang diskusi yang sebelumnya jarang terdengar—tentang etika bisnis barang mewah, hak konsumen bernilai tinggi, dan pentingnya tanggung jawab penuh entitas yang menjalankan aktivitas resmi atas nama merek.

Jam tangan bisa bernilai miliaran. Tapi dalam sistem hukum, nilai yang dipertaruhkan bisa jauh lebih besar: kepercayaan, kepastian, dan hak yang harus ditegakkan, tak peduli berapa harga barangnya.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads