bannerdiswayaward

Menghormati Ulama: Tradisi Sahabat Nabi, Tabiin, Tabiin-Tabiin dan Salafu Shalih

Menghormati Ulama: Tradisi Sahabat Nabi, Tabiin, Tabiin-Tabiin dan Salafu Shalih

KH Imam Jazuli --

DALAM tradisi Islam, menghormati ulama, orang yang sholeh dan orang yang lebih tua adalah bagian integral dari adab dan akhlak yang baik. Praktik ini tidak hanya ditemukan dalam kitab-kitab fiqh dan hadits, tetapi juga dalam sejarah kehidupan para sahabat, tabiin, dan ulama salaf.

Salah satu contoh sahabat Nabi yang menunjukkan penghormatan kepada orang yang lebih tua dan ulama adalah Ali bin Abi Thalib. Dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib mencium tangan dan kaki pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib, sebagai tanda penghormatan dan kesyukuran (Al-Adab Al-Mufrad, no. 979).

Praktik ini menunjukkan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat menghormati pamannya, tidak hanya karena faktori usia dan memiliki hubungan kekerabatan, tetapi juga faktor keilmuan. Dalam budaya Arab pada saat itu, mencium tangan dan kaki seseorang sebagai tanda penghormatan dan kesyukuran adalah hal yang biasa.

Selain sahabat Nabi, para tabiin juga menunjukkan penghormatan yang besar kepada ulama dan orang yang lebih tua. Salah satu contoh adalah Muhammad bin Sirin, seorang tabiin yang terkenal dengan kezuhudannya dan penghormatan kepada ulama. Beliau akan berdiri ketika bertemu dengan seseorang yang lebih tua dan akan mencium tangannya sebagai tanda penghormatan (Siyar A'lam Al-Nubala', karya Adz-Dzahabi, 4/606).

Kisah lain datang dari teladan Imam Muslim (w. 261 H) yang mencium tangan, bahkan kaki gurunya, Imam Bukhari (w. 256 H):

قال محمد بن حمدون بن رستم: سمعت مسلم بن الحجاج، وجاء إلى البخاري فقال: دعني أقبل رجليك يا أستاذ الأستاذين، وسيد المحدثين، وطبيب الحديث في علله .(سير أعلام النبلاء ط الحديث، شمس الدين أبو عبد الله محمد بن أحمد بن عثمان بن قَايْماز الذهبي (المتوفى: 748هـ)، 10/ 100)

Muhammad bin Hamdun berkata; Saya mendengar Imam Muslim saat bertamu ke Imam Bukhari berkata: “Biarkanlah Saya mencium kedua kakimu, wahai gurunya para guru, tuannya para muhaddits, dan dokternya hadits dalam mengetahui illatnya. (ad-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, h. 10/100).

Syaikh Utsaimin (w. 1421 H) menjelaskan pertiwa diatas demikian:

المهم أن هذين الرجلين قبلا يد النبي صلى الله عليه وسلم ورجله، فأقرهما على ذلك. وفي هذا جواز تقبيل اليد والرجل للإنسان الكبير الشرف والعلم، كذلك تقبيل اليد والرجل من الأب والأم وما أشبه ذلك، لأن لهما حقا وهذا من التواضع. (شرح رياض الصالحين، محمد بن صالح بن محمد العثيمين (المتوفى: 1421هـ)،4/ 451)

Dua orang itu (tamu Nabi) memang telah mencium kaki Nabi Muhammad shallaallahu alaihi wasallam, Nabi mengakuinya tanpa mengingkari. Maka, hukumnya boleh mencium tangan dan kaki seseorang karena kemulyaannya, sebagaimana mencium tangan dan kaki Bapak maupun Ibu, karena memang hak mereka. Inilah bentuk dari sikap tawadhu’. (Utsaimin, Syarah Riyadh as-Shalihin, h. 4/ 451).

BACA JUGA:Menghormati Kiai dan Asatid: Warisan Akhlak dan Etika dari Rasulullah

BACA JUGA:Etika Publik dan Krisis Kepercayaan

Karena itu, menghormati ulama dan orang yang lebih tua atau sholeh memiliki makna simbolik yang mendalam dalam doktrin Islam. Pertama, praktik ini menunjukkan kesadaran akan posisi dan peran ulama sebagai pewaris Nabi dan penerus risalah Islam. Kedua, menghormati ulama juga menunjukkan kesyukuran dan penghargaan atas ilmu dan hikmah yang diberikan.

Dalam tradisi pesantren, menghormati kiai dan ulama diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti mencium tangan, membungkukkan badan, dan memberikan penghormatan lainnya seperti memberinya bisyaroh. Praktik ini bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga memiliki makna spiritual yang mendalam.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads