Gaza Pasca KTT: Harapan & Tantangan

Gaza Pasca KTT: Harapan & Tantangan

Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)--

JAKARTA, DISWAY.ID --Dunia menatap Sharm El-Sheikh, Mesir.

Di sana, pemimpin dari berbagai negara berkumpul dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perdamaian untuk Gaza, membicarakan masa depan wilayah yang selama dua dekade terakhir menjadi luka terbuka dunia Islam, dan sekaligus luka nurani kemanusiaan global.

Indonesia hadir melalui Presiden Prabowo Subianto, membawa pesan penting: diplomasi Indonesia tetap berpihak pada kemanusiaan dan keadilan bagi rakyat Palestina.

BACA JUGA:Diplomasi Presiden Prabowo

BACA JUGA:Menghormati Ulama: Tradisi Sahabat Nabi, Tabiin, Tabiin-Tabiin dan Salafu Shalih

Di forum itu, presiden menegaskan kembali prinsip yang sejak lama menjadi napas politik luar negeri kita: mendukung penyelesaian dua negara dan rekonstruksi Gaza berbasis rakyat, bukan kekuasaan.

Namun, setiap konferensi perdamaian selalu menyisakan dua wajah: wajah harapan dan wajah skeptisisme.

Harapan, karena akhirnya dunia kembali berbicara tentang Gaza bukan dalam konteks perang, melainkan pemulihan.

Skeptisisme, karena pengalaman mengajarkan bahwa perjanjian damai sering berhenti di podium, sementara penderitaan di lapangan terus berlangsung.

Pertanyaan moralnya sederhana: setelah gencatan senjata, apa yang akan menyatukan Gaza kembali? Apakah KTT ini akan menjadi awal dari kedaulatan sejati, atau sekadar babak baru dari post-occupation yang ditulis dengan wajah berbeda?

BACA JUGA:Menghormati Kiai dan Asatid: Warisan Akhlak dan Etika dari Rasulullah

BACA JUGA:Etika Publik dan Krisis Kepercayaan

Dalam laporan Council on Foreign Relations (CFR) minggu ini, para analis menilai bahwa hasil KTT Sharm El-Sheikh “memberikan peta jalan yang ambisius namun tanpa peta pelaksanaan yang jelas.”

Banyak janji, sedikit mekanisme.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads