Gaza Pasca KTT: Harapan & Tantangan
Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)--
Gaza masih berada di antara politik global dan penderitaan lokal di antara kepentingan ekonomi dan kebutuhan kemanusiaan yang tak sabar menunggu.
Dari Gencatan ke Keadilan
Secara sosiologis, gencatan senjata hanya menghentikan kekerasan, tetapi belum memulihkan keadilan.
BACA JUGA:Memahami Keragaman Tradisi Pesantren
BACA JUGA:Menjaga Kesehatan Mental di Era Digital
Sebagaimana ditulis Émile Durkheim lebih dari seabad lalu, perdamaian sejati hanya mungkin terjadi jika “norma sosial bersama” dipulihkan.
Gaza kehilangan bukan hanya rumah dan infrastruktur, tetapi kepercayaan pada tatanan dunia yang adil.
Makalah akademik Yinon Amir (Queen’s University Belfast, 2024) menyebut Gaza kini berada dalam situasi post-occupation trap: wilayah yang secara formal merdeka, namun masih tergantung pada struktur kekuasaan eksternal dari ekonomi, logistik, hingga keamanan.
Artinya, masa depan Gaza bergantung pada siapa yang memegang kendali atas udara, laut, dan distribusi barang.
KTT Sharm El-Sheikh memang membahas pemulihan ekonomi dan bantuan kemanusiaan, tetapi belum menjawab satu hal paling mendasar: apakah rakyat Gaza akan benar-benar memiliki kedaulatan politik?
Selama itu belum jelas, perdamaian hanya akan menjadi jeda yang rapuh.
BACA JUGA:Menghidupkan Spirit Pancasila
Dalam perspektif Islam, adl (keadilan) adalah fondasi perdamaian.
Tanpa keadilan, rekonsiliasi menjadi basa-basi. Al-Mawardi dalam Adab al-Dunya wa al-Din menulis, “Negara berdiri di atas keadilan sebagaimana bangunan berdiri di atas pondasinya.”
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: