Pahlawan Baru di Zaman Ilmu
Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D. (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)--
Program Pesantren untuk Perdamaian yang diinisiasi oleh UIN Jakarta, CSRC, dan PPIM, misalnya, menjadi contoh bagaimana nilai moderasi dan dialog lintas iman ditanamkan sejak dini. Inilah model kepahlawanan baru: bukan menaklukkan musuh, tapi menyembuhkan luka sosial.
BACA JUGA:Xpose Uncensored dan Pesantren dalam Perspektif Komunikasi dan Public Relations
BACA JUGA:Gaza Pasca KTT: Harapan & Tantangan
Kampus agama dan pesantren harus bersinergi membentuk ekosistem keilmuan yang berdaya dan berkeadilan.
Sinergi itu bukan proyek seremonial, melainkan jalan panjang peradaban.
Karena masa depan bangsa tidak ditentukan oleh seberapa banyak gedung yang dibangun, tetapi seberapa banyak nilai yang ditanami.
Refleksi Hari Pahlawan
Hari Pahlawan bukan hanya hari untuk mengenang, tapi untuk melanjutkan keberanian.
Dulu, para pejuang pertempuran di Surabaya; kini, para santri dan akademisi bertempur di ruang-ruang belajar, di laboratorium, dan di dunia digital.
BACA JUGA:Diplomasi Presiden Prabowo
BACA JUGA:Menghormati Ulama: Tradisi Sahabat Nabi, Tabiin, Tabiin-Tabiin dan Salafu Shalih
Bedanya hanya alat; semangatnya tetap sama: cinta tanah air yang lahir dari iman.
Pahlawan sejati tidak selalu berangkat dari barak militer. Bisa jadi mereka berasal dari ma'had, madrasah, atau pesantren, tempat di mana keberanian moral dipraktikkan, dan dijadikan contoh etika hidup.
Seperti yang dikatakan Rumi, “Barangsiapa menyalakan lilin ilmu di tengah gelapnya zaman, dialah pahlawan sejati.”
Maka Hari Pahlawan tahun ini hendak kita rayakan bukan dengan nostalgia, tapi dengan komitmen baru: meneruskan jihad keilmuan, memperkuat pesantren sebagai benteng moral bangsa, dan menegakkan keadilan pengetahuan bagi seluruh anak negeri.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
