Pahlawan Baru di Zaman Ilmu
Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D. (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)--
Tema konferensi Majelis Masyayikh menekankan tiga kata kunci: rekognisi, afirmasi, dan keadilan.
Tiga kata ini sejatinya adalah makna terdalam dari jihad keilmuan.
BACA JUGA:KESADARAN GEOPOLITIK
BACA JUGA:Bolehkah Non-Muhrim Bersalaman? Sebuah Tinjauan Hukum Diperbolehkan dengan Catatan
Keadilan bukan hanya tentang pendistribusian kekayaan, tetapi juga pendistribusian kesempatan belajar. Jika pahlawan 1945 berjuang memerdekakan tanah air, maka pahlawan hari ini berjuang memerdekakan pikiran dan kriteria.
Selama ini pengetahuan hanya diukur dengan standar Barat dan mengabaikan kearifan lokal, selama itu pula bangsa ini belum sepenuhnya merdeka secara epistemik.
Dalam Islam, ilmu tidak pernah netral nilainya. Ia selalu berpijak pada al-'adl wa al-ihsan, keadilan dan kebaikan.
Maka kebijakan pendidikan harus berpihak pada yang lemah, memberi penegasan bagi mereka yang selama ini berada di pinggiran sistem.
Seperti pesan KH Hasyim Asy'ari dalam Adab al-'Alim wa al-Muta'allim: “Ilmu tanpa adab adalah bencana; adab tanpa ilmu adalah mendalam.”
BACA JUGA:Perbedaan Sistem Pesantren dan Feodalisme-Fasisme
BACA JUGA:Nabi Muhammad SAW dan Tradisi Saling Memberi dari Ahlus Suffah dan Darul Arqam
Pesantren dan Semangat Kebangsaan
Di tengah krisis global, pesantren membuktikan diri sebagai benteng moral.
Ketika banyak bangsa kehilangan orientasi, santri Indonesia tetap memegang teguh keseimbangan antara iman, ilmu, dan amal.
Dalam istilah Seyyed Hossein Nasr, pesantren melestarikan ilmu suci, pengetahuan yang menghubungkan manusia dengan Yang Maha Suci, bukan sekadar dengan algoritma.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
