bannerdiswayaward

Yang Ilahi dan Yang Insani di Jalan Kramat

Yang Ilahi dan Yang Insani di Jalan Kramat

Kantor PBNU di Jakarta.-Dok.-

Kiai Ilyas adalah gambaran ulama yang teduh, yang ilmunya mengakar, perilakunya meneduhkan, bukan memanaskan.

Kemudian ada Almarhum Mbah Sahal Mahfudh dari Kajen. Kiai dengan kealiman yang tak perlu branding, ketegasan yang tak perlu gebrak meja.

Ketegasannya adalah pada prinsip, pada khittah, pada konsistensi. Kelembutannya adalah pada cara, pada senyum, pada penerimaan bahwa realitas tak selalu hitam-putih. 

Allahyarham telah banyak mengajarkan fikih sosial, sebuah ijtihad yang melampaui sekat-sekat mazhab formalistik, merespons zaman tanpa kehilangan akar.

Fikihnya lentur, tapi akidahnya kokoh. Di tangannya, wahyu terasa relevan, membumi, dan menyejukkan.

Lalu ada almarhum Kiai Hasyim Muzadi. Sosok yang fasih beretorika, tapi kata-katanya berisi substansi, bukan sekadar gema kosong. Ia bisa menjadi politikus ulung, tapi keulamaan-nya tak pernah luntur.

BACA JUGA:Saatnya yang Muda Kembali Memimpin PBNU

Dalam setiap perbincangan politik, selalu ada sisipan nasihat tasawuf, selalu ada pengingat akan akhirat. 

Ketegasan sikapnya dalam menghadapi ancaman terhadap keutuhan bangsa, misalnya, mengingatkan pada semangat Resolusi Jihad Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari. Tegas, tapi dengan kelembutan seorang bapak yang mengkhawatirkan anak-anaknya kebingungan.

Tentu saja ada Almarhum Gus Dur. Ia adalah anomali yang dirindukan. Seorang ulama yang juga seniman, pemikir, dan pembela kaum minoritas. Ia mentertawakan kekuasaan dan tak pernah sudi diikat oleh birokrasi kaku organisasi.

Baginya, NU adalah jamaah, bukan sekadar jam'iyah. Ia mengajar kita bahwa menjadi ulama berarti berani mengambil risiko demi kemanusiaan, bahkan jika itu berarti harus berselisih dengan arus utama.

Almarhum keempatnya adalah sedikit saja dari contoh nyata tokoh nadliyin yang amat berlimpah dari periode ke periode, dengan keteladanan yang "syamil", bahwa ulama adalah "penyambung wahyu" yang efektif.

BACA JUGA:Indonesia, Rumah Baru Islam Dunia: Cerita dari Kampus UIII

Mereka menjembatani yang sakral dengan yang profan, yang ideal dengan yang aktual. Mereka menunjukkan bahwa alim tidak berarti kaku, dan tegas tidak berarti kasar.

Kini, di tengah riuh rendah dinamika di Jalan Keramat, kerinduan itu muncul kembali. Kerinduan akan ulama yang tak hanya pandai mengutip kitab kuning, tapi juga pandai membaca kitab kehidupan masyarakatnya. Yang kehadirannya meredakan, bukan memanaskan.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Close Ads