Yang Ilahi dan Yang Insani di Jalan Kramat
Kantor PBNU di Jakarta.-Dok.-
Kepada mereka, panutan kita, yang sedang berdinamika lumayan ekstrim, mungkin perlu sesekali menepi. Membaca kembali lembar-lembar sejarah para pendahulu. Merenungkan kembali makna "penyambung wahyu".
Apakah wahyu yang disambungkan itu adalah ajaran tentang kekuasaan, atau ajaran tentang pengabdian? Tentang berebut pengaruh, atau berebut keberkahan?
Para kiai yang terhormat dan bersahaja di Jalan Keramat, --Maaf, barangkali perlu sejenak membaca kembali dengan hening, lembaran sejarah para pendahulu mereka.
Di sana, mereka akan menemukan esensi sejati menjadi "pewaris nabi": bukan dengan saling sikut demi posisi, tapi dengan meneladani keikhlasan dan keluasan pandangan.
BACA JUGA:Airmata Ira
Tanpa itu, riwayat keteladanan ulama di NU akan terputus, menyisakan hanya gema kosong dari sebuah organisasi besar.
Kita hari ini darurat butuh kearifan Kiai Ilyas Ruhiyat dan Mbah Sahal, kita butuh ketegasan dan kelenturan Gus Dur dan Kiai Hasyim.
Sekai lagi, bukan untuk mengulang sejarah, tapi untuk belajar bahwa keulamaan sejati tak pernah lekang oleh hiruk-pikuk zaman.
Suluk keulamaan, apalagi yang ada di Pengurus Besar, semoga bisa tetap berdiri tegak, dan sesekali di pinggir, menepi dan mengingatkan kita pada yang hakiki. Sebab, pada akhirnya, yang tersisa bukanlah siapa yang menang dalam perebutan kursi dan posisi, tapi siapa yang warisannya terus mengalirkan ketenangan di hati umat. Itulah warisan wahyu yang sesungguhnya. Wallahu'alam bishawab. (*)
Aguk Irawan MN, Pengasuh Ponpes Baitul Kilmah Yogyakarta
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
