Pegiat HAM Andreas Harsono Jelaskan Metode Verifikasi Laporan HAM dan Risiko Politisasi Temuan
Pegiat hak asasi manusia Andreas Harsono menjelaskan sejumlah pendekatan yang digunakan dalam memastikan laporan pelanggaran HAM agar objektif dan terverifikasi-Istimewa-
JAKARTA, DISWAY.ID — Penulis dan pegiat hak asasi manusia Andreas Harsono menjelaskan sejumlah pendekatan yang digunakan dalam memastikan laporan pelanggaran HAM tetap objektif dan terverifikasi.
Andreas menegaskan bahwa akurasi informasi merupakan prinsip utama sebelum sebuah laporan dipublikasikan kepada publik.
BACA JUGA:Hadiri Sidang SCCR, Indonesia Memimpin Perjuangan Global untuk Royalti Digital yang Adil
BACA JUGA:Shin Tae-yong Bantah Keras Tuduhan Tampar Jung Seung-hyun: Dia Murid Kesayangan Saya!
Andreas mengatakan, langkah awal yang ditempuh adalah menerapkan prinsip cover both sides. Namun, ia mengakui metode tersebut tidak selalu efektif ketika kedua pihak memberikan keterangan yang saling bertentangan. “Metode Human Rights Watch mewajibkan kami harus datang ke lapangan serta lakukan verifikasi kepada para korban, mencari dokumen dst,” ujar Andreas.
Perbedaan Pelanggaran HAM dan Kejahatan Sipil
Terkait keseimbangan antara kritik terhadap aparat dan kelompok sipil, Andreas menegaskan bahwa kedua isu tersebut berada pada ranah berbeda. “Pelanggaran hak asasi manusia adalah kriminalitas yang dilakukan oleh aparat negara. Bila kejahatan dilakukan oleh kelompok sipil maka ia adalah kejahatan (biasa).
Ia adalah tugas polisi buat mencari bukti, mendakwa mereka, serta diputuskan di pengadilan. Dua isu ini adalah dua bidang yang berbeda,” katanya.
Ia menyebut klarifikasi ini penting untuk dipahami agar fokus kegiatan pemantauan tidak disalahartikan sebagai keberpihakan kepada kelompok tertentu.
Saat ditanya mengenai penggunaan rujukan lembaga internasional, Andreas menjelaskan bahwa standar hukum yang digunakan berasal dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“Rujukan yang kami pakai adalah hukum internasional buatan Perserikatan Bangsa-bangsa. Artinya, ia juga mengikutkan semua negara lewat konsultasi dan rapat,” ujarnya. Andreas menambahkan bahwa 197 negara dan teritori turut menyepakati standar tersebut sehingga tidak mewakili kepentingan negara tertentu.
BACA JUGA:Di Tengah Pengungsi Banjir, Prabowo Tegaskan: Negara Hadir, Tak Akan Tinggalkan Rakyat
Menanggapi risiko kesalahan data dalam laporan, Andreas menegaskan bahwa mekanisme ralat merupakan bagian dari etika jurnalisme. “Ralat adalah praktek yang biasa dalam jurnalisme. Bila salah harus ralat. Makin lama ralat dilakukan makin besar dampaknya pada reputasi organisasi kami. Minta maaf adalah bagian mendasar dalam jurnalisme,” ujarnya.
Menurut dia, langkah perbaikan yang cepat menjadi kunci untuk menjaga kredibilitas lembaga.
Laporan HAM Kerap Digunakan Banyak Pihak
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
